Kamis, 29 Maret 2012

Al-qur'an Sebagai Sumber Hukum Islam yang Pertama dan Utama


Prolog :

      Al-Qur’an bersifat global (mujmal) yang memerlukan perincian.  Misalnya perintah shalat, shaum maupun haji hanyalah dengan kalimat singkat : aqimis shalat, kutiba ‘alaikum as-shiam, wa atimmu alhajj, sedangkan tentang tatacara mengerjakannya tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Untuk menjelaskannya, datanglah Rasulullah SAW memberikan penjelaskan, dari mulai tatacara shalat, berrumah tangga, berekonomi sampai urusan bernegara. Penjelasan rasul itu disebut Sunnah Rasul.  Setelah Rasul wafat, permasalahan umat tetap bermunculan misalnya persoalan bayi tabung, inseminasi, euthanasia, dll. Persoalan demikian belum terakomodir di dalam Al-Qur’an maupun hadits, oleh karena itu memerlukan sumber hukum yang ketiga, yakni ijtihad.

      Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan menggunanakan bahasa Arab.  Agar fungsi Al-Qur’an  sebagai hidayah (guidance) atau way of life benar-benar efektif, maka  Al-Qur’an bukan saja perlu diterjemahkan tetapi perlu jiuga ditafsirkan. Cara menafsirkan Al-Qur’;an bisa menggunakan dua pendekatan, yakni tafsir Tahlili dan tafsir Maudhu’i. Kini banyak tokoh-tokoh Islam aliran rasional Liberal, yang menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi akal. Pendekatannya ada tiga yakni  tafsir Mateforis, tafsir Hermenetika dan tafsir dengan pendekatan Sosial Kesejarahan.
Pembuktian Al-Qur’an sebagai Wahyu dalam Persepketif Sains :

      Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur;an yang berisi informasi tentang alam semesta yang dapat dijadikan bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan karya manusia, beberapa di antaranya adalah :
•   Tentang awal kejadian langit dan bumi.  Di dalam QS. 21 : 30 Allah menegaskan : “Apakah orang-orang lafir tidak mengetahui, sesungguhnya langit dan bumi dahulunya adalah satu yang padu, maka kemudian kami lontarkan. Dan Kami jadikan semua makhluk hidup dari air, apakah mereka tidak mau beriman”.
•   Tentang pergerakan gunung dam lempengan bumi. QS  :”Dan kamu melihat gunung, kamu menyangka gunung itu diam. Tidak gunung itu bergerak sebagaimana geraknya awan”.
•   “Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku ada sebelas planet yang bersujud kepadaku”. Allah sebagai pencipta alam ini menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa planet itu ada sebelas. Padahal para ahli astronomi berpendapat hanya ada sembilan planet. Siapa yang benar ? Allah sebagai penciptanya atau manusia yang hanya mencari dan menemukannya. Pasti Allah yang benar.  Baru pada tahun-tahun terakhir ini para ahli astronomi menemukan bahwa planet itu ada sebelas.
Mana mungkin Al-qur’an mampu memberi informasi tentang alam yang menjadi ilmu pengetahuan modern,  seandainya Al-Qur’an bukan karya Allah. Ayat-ayat di atas membuktikan bahwa dilihat dari perspektif sains, Al-Qur’an pasti karya Allah, firman Tuhan bukan karya nba  Muhammad SAW.

Fungsi  Al-Qur’an:

      Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama, yakni  sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán (pembeda). Sebagai  hudá, artinya Al-Qur’an merupakan  aturan yang harus diikuti  tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah  bukan  cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola bumi.

      Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan  yakni hukum alam  dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk  menampakkan kejayaan Islam dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah ‘aláddini  kullih) sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan negeri Madinah atas negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh Mekah). Supaya tujuan itu bisa dicapai maka hukum Allah (Al-Qur’an) harus benar-benar dijadikan undang-undang oleh para khalifah fil ardl dalam mengelola bumi.

      Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan tentang  apa-apa  yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai  bayyinát, Al-Qur'an  harus dijadikan rujukan semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya bersifat  trial and error.

      Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau  pembeda antara yang haq  dan yang báthill,  antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufurr. 

      Untuk bisa memahami dan menggali fungsi-fungsi Al-Qur’an, baik sebagai hudá, bayyinát maupun furqán  secara mendalam,  maka Al-Qur’an perlu dipelajari bagian demi bagian secara cermat dan tidak tergesa-gesa (QS. 75 : 16-17, QS. 17 : 105-106), memahami munásabah atau hubungan ayat yang satu dengan yang lain, surat yang satu dengan surat yang lain.

      Selanjutnya fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan  tetapi walaupun begitu,  pasien tetap percaya bahwa resep itu benar mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran otoritas.  Demikian pula dengan Al-Qur’an, ia a adalah resep dari Allah yang sudah pasti benar mustahil salah karena Allah adalah Maha Benar. Dengan demikian walaupun ada beberapa ayat Al-Qur;an yang untuk sementara waktu belum dapat difahami oleh ratio, tak apa tetapi tetap harus dilaksanakan, sebab  kalau menunggu dapat memahaminya secara penuh bisa  keburu mati. 

      Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan (feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).


(Komunitas DUDUNG.NET)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar