Kritik Terhadap Upaya Rasionalisasi dalam Menafsirkan Al-Qur’an :
Sebenarnya
upaya rasionalisasi tafsir Al-Qur’an bukanlah hal baru, misalnya
penafsiran Muhammad Abduh tentang surat al-Fil yang berbeda dengan
tafsiran terdahulu. Menurut tafsir Ibn Abbas dan lain-lain, burung
Abábil itu melempar pasukan gajah dengan batu dari neraka (sijjil),
Setiap burung membawa tiga butir batu, dua butir di kedua kakinya dan
satu butir di paruhnya. Batu tersebut adalah batu kecil dari tanah yang
membara. Tetapi Muhammad Abduh dengan tafsir metaforis rasionalnya
berpendapat lain, menurutnya sijjil bukanlah batu dari neraka tetapi
berupa virus. Dengan serangan virus itulah tentara Abrahah menjadi sakit
parah dan akhirnya mati.
Rasionalisasi Al-Qur’an dilakukan dengan
pendekatan tafsir Metaforis, misalnya tentang mukjizat nabi Musa. Nabi
Musa memukulkan tongkat ke laut sehingga terbelah menjadi jalan. Menurut
kelompok rasional itu tidaklah mungkin sebab menyalahi sunnah Allah.
Sunnah Allah yang bergerak di dalam hukum kausalitas merupakan ketetapan
yang pasti, tidak berubah. Demikian juga ketika nabi Ibrahim dibakar
tetapi tidak mati gara-gara apinya menjadi dingin, padahal sifat api
sebagai sunnah Allah adalah panas. Dengan demikian tidak mungkin api
yang panas menjadi dingin karena kalau begitu sunnah Allah tentang api
telah berubah. Kalau sunnah Allah berubah maka hukum alam pun berubah,
kalau hukum Alam berubah-ubah maka tidak dapat dibuat rumus-rumus ilmu
Alam, kalau begitu ilmu Alam tidak lagi menjadi ilmu pasti.
Untuk
mengomentari ini, ada baiknya dikedepankan dulu pandangan Din Syamsudin.
Menurut Din, dalam mengkonseptualisasikan Islam, umat Islam menghadapi
dua problema intelektual. Pertama, ketika Islam diyakini sebagai agama
yang berlandaskan wahyu, umat Islam dihadapkan kepada problema yang
menyangkut hubungan akal dengan wahyu. Kedua, ketika Islam diyakini
sebagai kehidupan, umat Islam dihadapkan kepada persoalan hubungan
antara agama dan persoalan kehidupan (sekuler).
Upaya rasionalisasi
ayat Al-Qur’an dalam batas-batas tertentu sah-sah saja karena Islam
memang rasional sehingga Islam itu diperuntukkan bagi orang-orang yang
berakal (Ad-Din al-Aql). Namun batasan rasional atau tidaknya, logis
atau tidaknya sesuatu kejadian sangat tergantung kepada kemajuan
berfikir dan kebudayaan termasuk perkembangan sains teknologi yang
berkembang saat itu.
Dalam hal ini Richard Thamas (1993) dalam
bukunya berjudul “:The Passion of Western Mind” menulis sebuah judul
“The Crisiss of Modern Science” menyatakan bahwa ilmu Barat yang
spektakuler itu ternyata menghadapi krisis antara lain setelah sekian
ratus tahun meyakini “certainty principle”, salah satu basic sains
tentang kepastian hubungan sebab – akibat atau “if X, then Y” tetapi
pada perkembangan berikutnya ternyata ada juga “Uncertainty principle”.
Kausality ternyata terlalu simplistik. Kini ditemukan bahwa
partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa dihayati bagaimana hubungan
kausality di antara mereka. Bahkan menurut Thomas Kuhn, dalam sains
terdapat akumulasi data yang bertentangan yang akhirnya menimbulkan
krisis paradigma dan setelah itu timbullah suatu sintesis yang
imajinatif, yang akhirnya memperoleh rekognisi ilmiah, sedangkan yang
terjadi ke arah itu bersifat non-rasional. Karena itu ilmu pengetahuan
yang sekarang dianggap sebagai sesuatu yang relatif. S
Sebenarnya
alam sebagai fakta dengan segala hukumnya adalah absolut, tetapi ilmu
pengetahuan alam yang ditemukan manusia bersifat relatif. Sebagai
contoh, bahwa Al-Qur;an menjelaskan bahwa planet itu ada sebelas (ihda
‘asyrata kaukaban), tetapi para ahli astronomi menyebutkan hanya
sembilan. Demikian puluhan tahun pendapat itu mendominasi. Kemudian
ditemukan lagi satu planet sehingga berjumlah 10, kini terakhir
ditemukan satu planet lagi sehingga menjadi sebelas. Jadi jumlah planet
sebagai fakta adalah absolut namun pengetahuan manusia tentang planet
bersifat relatif.
Di samping itu perlu difahami bahwa ada perbedaan
antara pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science). Dalam kesimpulan
penulis, pengetahuan itu bisa benar bisa salah. Pengetahuan yang benar
disebut al-‘ilmu atau haq, sedangkan pengetahuan yang salah disebut
persepsi atau opini. Pendek kata, pada hakikatnya, kebenaran (al-haq,
al-‘ilmu) adalah mutlak, absolut, sedangkan yang berbeda-beda adalah
persepsi orang tentang kebenaran.
Manusia dengan rasionya berusaha
mencari kebenaran (ilmu). Caranya, setiap data yang masuk ke otak akan
diolah dengan paradigma berfikirnya sehingga menjadi sebuah pengetahuan
(kesimpulan), tetapi apakah kesimpulan itu sebagai ilmu atau hanya
persepsi belumlah pasti. Karena itu wajar kalau kesimpulan seseorang
tentang sesuatu suka berubah-ubah. Teori yang hari ini dianggap benar
tetapi beberapa tahun kemudian direvisi bahkan dibuang. Dalam proses
menemukan kebenaran itu, manusia sering harus menempuh
kesalahan-kesalahan yang banyak tiada terhingga, atau bersifat trial and
error.
Untunglah turun wahyu. Fungsi wahyu adalah untuk membantu
manusia agar jangan terlalu lama atau jangan terlalu sulit menemukan
kebenaran, terutama dalam persoalan-persolan metafisika atau tentang
hakikat sesuatu. Dan sangat mungkin kalau hanya mengandalkan kekuatan
nalar semata, terlalu banyak hal yang tak dapat ditemukannya padahal
ilmu sangat penting dimiliki untuk bekal di dunia ini, misalnya apa arti
hidup, apa itu mati, bagaimana setelah mati, apa itu syetan dan
bagaimana sikap manusia terhadap syetan. Wahyu memberikan informasi
seputar masalah-masalah di atas yang tidak mungkin dapat ditemukan
melalui penelitian empirik.
Dalam pandangan penulis, manusia dengan
rasio yang berfikir berlandaskan kausality, tidak dinilai serba mampu
untuk mencapai segenap ilmu, karena rasio memiliki daya deteksi yang
terbatas. Oleh karena itu, apabila rasio dijadikan sebagai ukuran
segenap kebenaran agaknya terlalu riskan.
Dengan hubungan kausality
sebagaimana dijelaskan di atas, di Barat hanya dikenal dua katagori
ilmu, yakni Empirical Science (ilmu Empirik) dan Rational Science (ilmu
rasional) Empirical science adalah manakala kebenarannya yang bersumber
kepada indera terutama mata, dengan kata lain dapat dilihat, diobservasi
atau dibuktikan melalui eksperimen, misalnya ilmu kedokteran, Fisika,
Kimia, Biologi, dll. Jika dalam uji coba tersebut tidak terbukti berarti
teori itu salah.
Sedangkan Rational science ialah kebenaran yang
bersumber kepada rasio (akal). Benar tidaknya sesuatu diukur oleh
signifikansi hubungan antara sebab dan akibat. Apabila terjadi hubungan
sebab dan akibat yang jelas, maka itu dikatakan logis, rasional dan
dianggap benar. Tetapi jika hubungan antara sebab dan akibat itu tidak
nampak jelas maka dinilai tidak rasional dan salah.
Di luar
Empirical science dan Rational science adalah belief (kepercayaan)
semata-mata dan bukan ilmu. Jadi berita tentang bangkit dari kubur, jin,
malaikat, termasuk cerita tentang mukjizat, karena persoalan tersebut
tak dapat dibuktikan dengan indera maupun dengan rasio, maka dinyatakan
bukan ilmu melainkan sekadar kepercayaan.
Apakah paradigma demikian
bisa digunakan dalam memahami Islam?. Ini nampaknya agak sulit. Kalau
kita menganalisis dengan teliti ilmu-ilmu atau aturan yang terdapat
dalam Al-Qur’an, akan banyak ditemukan ilmu-ilmu yang mungkin dinilai
tidak rasional karena antara sebab dan akibat hukum, sering tidak
terdeteksi. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang agak sulit
difahami, agak sulit mencari hubungan sebab – akibat. Sebagai contoh
Allah mengharamkan babi. Pertanyaannya adalah mengapa babi itu
diharamkan, apa sebabnya. Ini sangat sulit dijawab. Paling-paling
jawabannya adalah karena memang Allah telah menetapkan demikian, titik.
Keharaman
babi berbeda dengan keharaman arak (khamr). Haramnya arak mudah
difahami oleh akal karena arak dapat mengakibatkan mabuk dan merusak
otak. Penetapan hukum haram atas arak sangat logis – rasional. Demikian
juga sebab-sebab haramnya zina, berjudi, membunuh – walaupun Al-Qur’an
tidak menjelaskan sebab akibatnya – tetapi akal/ rasio sudah bisa
memahaminya. Lain lagi perihal air liur anjing. Hadits ini menyatakan :
عن
أبى هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلّى الله عليه و سلّم
:طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب إن يغسله سبع مرات اولا هن
بالتراب
Dari Abâ Hurairah r.a ia berkata, telah bersabda Rasulullah
SAW, bersih-kanlah bejana salah seorang di antaramu, apabila dijilat
anjing dengan membersihkan sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan
tanah (HR. Muslim).
Hadits serupa berasal dari ‘Ali ibn Hujr
al-Sa‘dy, dari ‘Ali ibn Mushâr, dari A‘masy, dari Abâ Razain dan Abâ
Shálih dari Abâ Hurairah. Juga dari Mu\ammad ibn Rafi’, dari Abd Razaq,
dari Ma‘mar, dari Hamam ibn Munabbah, dari Abâ Hurairah.
Menurut
hadits di atas, kalau bejana dijilat anjing maka wajib dibasuh tujuh
kali, satu kali menggunakan tanah. Pertanyaannya adalah mengapa harus
dengan tanah bukan dengan sabun. Apakah hal itu karena di zaman nabi
belum mengenal sabun? Tentu tidak sesederhana itu jawabannya. Namun
untuk dapat memahami mengapa harus dicuci dengan tanah memang sangat
sulit.
Hal ini besar kemungkinan berkaitan dengan unsur-unsur karbon
yang sangat beragam dalam tanah. Multi karbon sangat efektif dalam
menghilangkan racun termasuk virus rabies, sedangkan sabun hanya
mengandung beberapa karbon saja yang mustahil dapat membunuh virus
rabies.
Muncul lagi pertanyaan, mengapa kalau anjing menjilat bejana,
bejana itu harus dibasuh tujuh kali di antaranya satu kali dengan
memakai tanah. Tetapi ketika berburu kelinci menggunakan anjing terlatih
(mu‘allam), terus anjing ini menggigit kelinci, tidak ada satu hadits
pun yang mengharuskan mencuci leher kelinci bekas gigitan anjing itu
dengan tanah. Mengapa demikian?” Selintas pertanyaan ini menyudutkan dan
sulit dijawab. Akan tetapi apabila ditanyakan kepada ahlinya,
rahasianya dapat agak terbuka.
Dapat kita bandingkan dengan bisa
ular. Apabila manusia digigit oleh ular kobra, maka dalam beberapa menit
saja manusia bisa mati, padahal hanya sedikit saja bisa ular yang masuk
melalui pagutan itu. Lain halnya dengan bisa yang sengaja diperas dari
mulut kobra itu. Apabila bisa ular itu diperas dari mulutnya kemudian
ditampung pada gelas lantas diminum, ternyata tidak berbahaya bahkan
justeru menjadi obat. Kasus ini kurang lebih sama dengan air liur
anjing tadi. Air liur yang keluar ketika anjing menjilat dan ketika
tetap dalam mulutnya, terdapat perbedaan besar.
Contoh lain ialah
tentang puasa. Orang yang sering menahan lapar bisa terkena penyakit
maag, tetapi tidak demikian dengan menahan lapar karena puasa. Kalau
perut sangat lapar dapat mengakibatkan tubuh berkeringat dingin, tetapi
tidak demikian kalau lapar karena puasa. Kalau perut sedang lapar akan
sulit tidur, tetapi kalau perut lapar karena puasa justeru nikmat tidur.
Mengapa demikian?
Contoh lainnya masih tentang puasa adalah bahwa
ketika Nabi berbuka puasa, Nabi ta‘jil (mempercepat buka puasa) hanya
memakan tiga biji kurma bukan dengan makan yang banyak. Mengapa
demikian? Menurut ilmu kedokteran, ketika berpuasa, lambung (maag) itu
kosong. Dengan berbuka menggunakan kurma (manis) akan mempercepat
pembakaran dan segera dapat mengganti glukosa (gula darah) yang
berkurang selama puasa. Mengapa hanya tiga kurma? Dengan kurma yang
sedikit yang masuk ke dalam lambung, maka darah akan mengalir ke lambung
sebagai energi sehingga lambung bisa bekerja dengan baik. Setelah
lambung memiliki energi yang cukup kuat barulah diisi dengan makanan
yang banyak, sehingga lambung bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
Berbeda jika lambung itu langsung diisi dengan makanan yang banyak tanpa
“pemanasan”, maka lambung memerlukan banyak darah sehingga darah dari
otak akan turun ke lambung, akibatnya otak kekurangan darah, ini berarti
otak kekurangan oksigen sehingga jadi mengantuk.
Dengan
mengetengahkan contoh-contoh di atas, penulis bermaksud meminta
perhatian bahwa apa-apa yang dilakukan nabi yang menyangkut diniyah
walaupun untuk sementara waktu dinilai kurang rasional namun jangan
tergesa-gesa menolaknya. Sebab ukuran rasional dan tidaknya sesuatu
sangat tergantung kepada ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang.
Dengan demikian, tidak boleh hanya karena akal manusia belum bisa
menemukan hubungan sebab akibatnya, lantas dengan serta merta ajaran
Islam (ayat Al-Qur’an) yang dianggap tidak rasional (untuk sementara
waktu) itu ditafsirkan sesuai dengan selera penafsir.
Kejadian yang
lebih sulit lagi manakala kita ingin mengetahui logis tidaknya mukjizat.
Misalnya Nabi Ibrahim a.s dibakar tidak merasa panas, Tongkat Nabi
Musa a.s menjadi ular, serta Nabi Muhammad SAW ber-Isra Mi’raj. Apabila
kejadian ini diukur dengan ilmu dalam batasan rasional, maka pasti akan
dianggap irrasional dan kemudian ditolak. Tidak heran kalau kelompok
pemikir Rasional menyatakan mukjizat seperti itu hanyalah mitos
doktrinal, tidak ubah dongeng Lampu Aladin (fiktif). Dan karena
anggapannya itu, mereka lebih suka melakukan reinterpretasi dengan
pendekatan rasional metaforis.
Seandainya semua hal harus rasional,
lantas bagaimana dengan Isa (Yesus) yang lahir dari rahim Maryam yang
masih perawan, tanpa suami dan tanpa berbuat zina. Apakah ada tafsiran
yang lain?
Kejadian yang aneh di luar kebiasaan yang sulit difahami
seperti mukjizat bukanlah ilmu Empirik karena tidak dapat diulang-ulang
melalui kegiatan eksperimen, Bukan pula Ilmu Rasional karena interrelasi
sebab – akibatnya sulit ditemukan, tetapi termasuk dalam katagori ilmu
Suprarasional atau kejadian Supranatural. Kebenarannya hanya dicapai
dengan hati (qalbu) yang percaya, atau bisa disebut haqq al-yaqân.
Apalagi
kalau menyangkut persoalan siksa kubur, alam Mahsyar, syurga dan neraka
yang sama sekali tidak bisa dijangkau akal, bahkan tak dapat
dibayangkan. Kebenaran ilmu tersebut hanya dibuktikan dengan ruh yakni
setelah manusia mati. Ilmu yang demikian disebut dengan Metarasional.
Dalam paradigma Al-Qur’an disebut Ilmu Gaib.
Berdasarkan
kajian-kajian yang penulis lakukan, penulis berkesimpulan bahwa
sebenarnya ilmu itu ada empat macam bukan dua sebagaimana dalam
pemikiran di Barat. Keempat macam ilmu itu adalah ilmu Empirik (‘Ain
al-yaqin), Ilmu Rasional (‘Ilmu al-yaqin), Suprarasional (Haqq al-yaqin)
dan Metarasional (‘ilmu al-Ghaib). Dalam terminologi lain, Ilmu Empirik
dan ilmu Rasional dikatagorikan Ilmu Bayány. Ilmu Suprarasional
merupakan ilmu Burhány, sedangkan Metarasional disebut ilmu ‘Irfány.
Di
luar yang empat itu ada yang disebut irrasional, yakni manakala
kejadian tersebut sangat mustahil menurut akal, misalnya dikatakan bahwa
benda itu diam dan pada saat yang sama benda itu bergerak. Ini
irrasional. Termasuk ke dalam irrasional adalah tahayyul. Irrasional
bukanlah ilmu tetapi tahayyul (hayalan) atau kepercayaan tak berdasar.
Di dalam ajaran Islam, banyak sekali perintah dan larangan nabi yang
seakan tidak masuk akal sehingga beberapa ulama melakukan rasionalisasi
melalui penafsiran metaforis.
Lantas apakah sesuatu yang tidak
dimengerti harus ditaati juga? Sebenarnya manusia banyak melakukan
perbuatan bukan karena mengerti tetapi karena percaya. Sebagai contoh,
seorang professor doktor di bidang agama akan tetap menggunakan resep
dari dokter walaupun tulisan pada resep itu tidak dapat dibaca dengan
matanya dan tidak dapat difahami dengan otaknya. Ia menaati resep dokter
bukan karena mengerti tetapi karena percaya. Begitupun dengan Al-Qur’an
yang berfungsi sebagai resep, obat (syifá), maka kalau sementara ini
akal belum mampu menerima apa yang dikandung oleh Al-Qur’an, sebaiknya
diterima saja dahulu, nanti di saat kemudian, apa-apa yang dianggap
tidak rasional sangat mungkin menjadi rasional juga. Jadi pada dasarnya
baik suprarasional maupun metarasional seluruhnya masih dalam koridor
rasional.
Apakah tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX termasuk kepada tafsir bi ar-Ra’yi yang diancam neraka?.
Untuk mengetahuinya sangat perlu terlebih dahulu memahami kriteria tafsir bi ar-Ra’yi yang diperbolehkan.
Menurut
Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Tafsâr fâ Qawá‘id
‘ilmi at-Tafsâr”, dijelaskan bahwa para sahabat biasa menafsirkan
Al-Qur’an dengan ra’yu, hal ini dilakukan apabila mereka tidak menemukan
tafsirnya dalam hadis mutawátir, juga tidak terdapat dalam Ijma‘
ulama”. Adapun tafsâr bi ar-Ra’yi yang dilarang adalah min gair ‘ilm
(tanpa imu) tetapi sekadar mengikuti selera. Tafsir ra’yu tidak boleh
kalau meninggalkan pemahaman yang sudah biasa difahami dari
lafaÑ-lafaÑ Al-Qur’an .
Apabila mencermati tafsir Al-Qur’an yang
dilakukan oleh NII KW IX, maka segera dapat diketahui bahwa penafsiran
mereka tanpa mengikuti kaidah-kaidah baku penafsiran yang telah
disepakati oleh para ulama, terutama ulama Salaf. Berdasarkan kriteria
tafsir bi ar-ra’yi di atas, maka tafsâr bi ar-ra’yi NII KW IX secara
akademis tidak dapat diterima.
(Komunitas DUDUNG.NET)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar