PENGEMBANGAN STUDI HUKUM ISLAM DI IAIN
Nur
A. Fadhil Lubis
Syari'ah
merupakan salah satu bidang studi yang penting --malah
mungkin yang terpenting-- dalam tradisi keilmuan umat
Islam, termasuk di IAIN. Hal ini bukan karena tradisi
fikih di kalangan Muslim Indonesia, tetapi karena
syari'ah merupakan rujukan utama umat Islam dalam
bertingkah-laku. Kondisi obyektif ini seharusnya menjadikan
studi hukum Islam sebagai bidang studi paling berkembang
di IAIN, meskipun realitasnya tidak demikian. Inilah
barangkali salah satu sebab mengapa ketika wacana
pembaharuan dan gerakan kebangkitan kembali umat Islam
bergema, hukum Islam dan para eksponennya tidak dianggap
sebagai pelopor, malah disudutkan sebagai penganjur
pemapanan dan penghalang kemajuan.
Mengingat
itu semua, perlu dikaji lebih jauh latar belakang
dan sejarah perkembangan studi hukum Islam secara
umum, kemudian melihatnya secara khusus di IAIN. Baru
setelah itu, perbincangan tentang proyeksi pengembangannya
di masa depan bisa lebih terarah. Untuk lebih terarahnya
pembahasan, makalah ini akan diawali dengan upaya
penjernihan konseptual tentang makna, beberapa istilah
kunci, terutama syari'ah, fikih dan hukum Islam. Hal
ini terkait erat dengan upaya pemetaan keilmuan dan
pemastian obyek dan ruang lingkup studi hukum Islam,
serta perumusan visi kajian hukum Islam di IAIN. Pasal
berikutnya akan terfokus pada studi syari'ah sebagai
bagian dari Studi Islam.
Dalam
kerangka memantapkan landasan filosois keilmuan serta
memantapkan visi dan misi studi hukum Islam, pembahasan
selanjutnya akan menelusuri masalah tersebut dan diikuti
dengan uraian tentang kesempatan dan tantangan dalam
lingkup Indonesia. Pasal berikutnya akan membahas
hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Inti dari
makalah ini, pandangan studi hukum Islam di IAIN,
akan menjadi obyek ulasan berikutnya.
Syari`ah
dan Hukum Islam
Ketika
didirikan di Yogyakarta pada 1950, berdasarkan PP
(Peraturan Pemerintah) No. 34/1950, Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN) memiliki dua fakultas,
salah satunya adalah Fakultas Syari'ah. Ketika PTAIN
beralih menjadi IAIN dengan menggabungkan Akademi
Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta pada 1960 dan selanjutnya
berkembang menjadi 14 IAIN pada pertengahan 1970-an
di berbagai penjuru Tanah Air, eksistensi Fakultas
Syari'ah tetap dipertahankan dan dikembangkan. Keberadaan
studi syari'ah juga terus berkembang dengan diresmikannya
32 fakultas cabang menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) pada 1996. Signifikansi studi syari'ah
juga terlihat dari banyak fakultas/program studi ini
di Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), bahkan
sebagai bagian dari Fakultas Hukum di berbagai Perguruan
Tinggi Negeri/Swasta (PTN/PTS). Meskipun tidak merupakan
program studi tersendiri, hukum Islam merupakan mata
kuliah wajib di seluruh Fakultas Hukum di Tanah Air.
Oleh
karenanya barangkali tidak berlebihan untuk menyatakan
bahwa fakultas ini menjadi salah satu fakultas inti
yang kelihatannya mesti ada di setiap IAIN. Sebelum
STAIN terbentuk, yang berasal dari IAIN cabang, tercatat
90 fakultas di 14 IAIN di seluruh Indonesia, 23 di
antaranya (25,5%) adalah Fakultas Syari'ah1 . Oleh
karenanya, Fakultas Syari'ah merupakan bidang studi
yang sangat dekat dengan tradisi pesantren, sehingga
lebih bersifat kelanjutan dari institusi pendidikan
tradisional tersebut. Seorang peneliti Belanda yang
lama mengamati pendidikan Islam di Indonesia menyimpulkan
bahwa dari segi topik dan isi pelajaran yang diberikan
di IAIN, Fakultas Syari'ah memang yang paling mirip
dengan tradisi pesantren, meskipun metode dan terkadang
juga kesimpulannya mungkin berbeda (faculty of Islamic
law shares the closest similiarities to the topics
and content of the pesantren education, while the
methods and sometimes the conclusions may show cosiderable
differences).2
Oleh
karenanya, sudah seyogyanya, sebelum memperbincangkan
lebih jauh tentang sejarah perkembangan studi syari'ah
di lembaga ini, ditelusuri lebih dahulu mengapa kata
'syari'ah', bukannya 'fikih' atau 'hukum Islam' yang
dipakai. Ini lebih menarik lagi mengingat secara paralel
di lembaga pendidikan lain telah ada dan berkiprah
'Fakultas Hukum' sebagai lanjutan dari 'Rechshogoeschool'
(Sekolah Tinggi Hukum) peninggalan zaman kolonial
Belanda.
Dalam
wacana keilmuan, kata syari'ah memang memiliki makna
dan signifikansi yang penting, karena memang tercantum
dalam al-Qur'an dan hadist Nabi Muhammad SAW., dua
sumber ajaran Islam. Kata 'syari'ah' dan pecahannya
tercantum lima kali dalam al-Qur'an. Dalam bentuk
kata kerja (syara' dan syara'u) terdapat masing-masing
pada ayat 42:21, 5: 48 dan 45:18. Ayat terakhir inilah
yang terpenting dan sering ditabalkan menjadi salah
satu konsep kunci dalam Islam, yaitu syari'ah.3
Syari'ah,
yang awalnya berarti jalan, terutama jalan menuju
sumber air, dipergunakan di kalangan umat Islam dengan
arti seluruh panduan Allah (khithah Allah) kepada
umat manusia untuk kebahagiaan mereka di dunia dan
keselamatan di akhirat. Panduan ini ada yang diturunkan
secara langsung dalam bentuk wahyu, yakni al-Qur'an
dan ada yang melalui tauladan utusan-Nya, yaitu Sunnah.
Meskipun Allah memberikan syari'at yang mungkin berbeda
pada para utusan-Nya, segera setelah periode risalahnya
selesai, apalagi dengan selesainya risalah Nabi Muhammad
sebagai penutup para nabi (khatam al-nabiyyin), syari'ah
ini menjadi permanen. Patut dicatat bahwa kata syari'ah
biasanya dinisbatkan kepada seseorang Rasul, seperti
syari'at Nabi Ibrahim, syari'at Nabi Musa dan syari'at
Muhammad SAW. Syari'at-syari'at yang sebelumnya (syar'
man qablana) ini merupakan salah satu sumber pelengkap
bagi perumusan hukum Islam.
Sedangkan
kata fikih, yang berarti pemahaman mendalam (fahm
daqiq), yang lebih banyak frekuensi pemakaiannya dalam
al-Qur'an, adalah perintah Tuhan kepada sebagaian
manusia. Kata ini tercantum dalam 20 ayat, tetapi
yang erat relevansinya dengan aktivitas keilmuan umat
Islam adalah ayat 9:122 yang mengingatkan agar tidak
semua umat Islam pergi berperang; hendaknya ada sekelompok
orang (nafar) dari setiap komunitas (firqoh) yang
mempelajari dan memahami (li yatafaqahu) ajaran agama.
Sedangkan yang menjadi obyek fikih itu melingkupi
berbagai hal yang sangat luas, dari perkataan (Q.
11:91; 20:28), kejadian (Q. 9;81), tasbih (Q. 17:44),
ayat-ayat Tuhan (Q. 6:65, 98), siksaan neraka (Q.
9:81), perubahan hati (Q, 9:127), kemunafikan (Q.
23:7) hingga ke masalah agama (Q, 9:122).
Memang
pada awal perkembangan peradaban Islam istilah syari`ah
mencakup seluruh proses dan produk pemahaman manusia
atas segala hal yang berkenaan dengan agama ('ulum
al-din), dan malah persoalan adat-istiadat juga termasuk
di dalamnya. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M), tokoh
tertua dari empat madhab utama Sunni, mendefinisikan
fikih sebagai 'ma'rifa al-nafs ma laha wa ma 'alaiha'
(pengetahuan tentang hak dan kewajibannnya).
Berikutnya
dipakailah kata sifat untuk memilah obyek kajian ilmu
yang semakin penting dan meluas ini. Fikih yang terkait
dengan apa yang harus diyakini dan apa yang harus
diingkari disebut fikih besar (fiqh al-akbar), sedangkan
yang terkait dengan apa yang harus diperbuat dan dilakukan
disebut fikih perbuatan (fiqh al-'amali). Yang kedua
inilah yang akhirnya menjadi bagian terpenting, dan
belakangan menjadi satu-satunya pokok bahasan dari
ilmu fikih. Pengertian inilah yang dicantumkan oleh
al-Jurjani (471/1078), penulis buku terkenal al-Ta'rifat,
dan oleh al-Ghazali (505/1111) dalam kitabnya al-Mustashfa.4
Kata
'hukum' yang banyak dipergunakan di Indonesia berasal
dari bahasa Arab yang juga banyak ditemukan dalam
banyak ayat al-Qur'an. Kata "hukm", jamaknya
ahkam, secara lughawi berarti menetapkan dan menafikan
suatu perkara berdasarkan sesuatu perkara lain. Al-Qur'an
menegaskan betapa pentingnya menegakkan hukum yang
diturunkan Allah (yahkum bi ma anzal Allah), dan mengelompokkan
mereka yang tidak berbuat demikian termasuk orang
kafir (Q, 5:44) dan alim (Q, 5:45) dan fasik (Q, 5:47).
Al-Qur'an juga megingatkan agar umat Islam jangan
sekali-kali meniru hukum jahiliyah (Q, 5:50). Allah
SWT. juga menegaskan bahwa salah satu fungsi al-Qur'an
adalah untuk menegakkan hukum Allah di tengah umat
manusia (Q, 4: 105).
Dalam
tradisi keilmuan Muslim, kata ini biasanya didefinisikan
sebagai penetapan dan ketentuan yang terkait dengan
perbuatan subyek hukum (mukallaf) yang berasal dari
atau berdasarkan atas panduan (khithab) Ilahi.5 Perbuatan
mukallaf, dalam wacana hukum Islam, dibedakan atas
lima kategori: yakni wajib, sunat, mubah dan haram.
Klasifikasi ini disebut ahkam al-taklifi. Di samping
itu, dikenal kategori lain, yakni ahkam al-wadh'i
yang lebih terkait dengan kondisi eksternal tetapi
masih terkait dengan perbuatan hukum, yaitu sebab,
syarat dan pencegah (mani').
Uraian
di atas menunjukan betapa pentingnya studi hukum Islam
dalam sejarah pendidikan Islam. Ini juga menjelaskan
bahwa terdapat perbedaan yang cukup penting antara
syari'ah, fikih dan hukum dalam wacana keilmuan umat
Islam, meskipun juga harus diakui telah terjadi pergeseran
makna dari satu periode ke periode yang lain. Perbincangan
di atas juga menunjukkan bahwa dari sisi skala kedekatan
kepada Ilahi dan sakralitasnya, syari'ah merupakan
yang tertinggi dan malah dianggap permanen serta dinisbatkan
kepada Rasulullah, kemudian disusul oleh fikih yang
merupakan upaya manusia untuk memahami agama (din)
dan merumuskan panduan tingkah laku, yang akhirnya
dijabarkan dalam bentuk hukum bagi kasus-kasus tertentu.
Penjabaran
pada kasus tertentu bisa terwujud dalam beberapa bentuk.
Yang pertama fatwa yaitu pendapat atau opini hukum
seorang 'alim tentang sesuatu perkara yang dipertanyakan
kepadanya. Yang mengeluarkan fatwa disebut mufti.
Yang kedua adalah qadha yakni keputusan hakim pengadilan
(qadhi) atas suatu sengketa atas sesuatu yang dihadapkan
kepadanya. Jika ketentuan tingkah laku tersebut dirumuskan
oleh penguasa dan dimaksudkan untuk mendukung lebih
terwujudnya syari'ah, maka hal tersebut disebut siyasah
syar'iyah. Akhirnya ada upaya untuk merumuskan dan
memodifikasi ketentutuan-ketentuan tingkah-laku tersebut
dalam bentuk undang-undang yang diberlakukan untuk
umum. Inilah yang disebut qonun. Disamping itu, tentu
yang paling luas adalah hasil penjabaran yang idealis
dan hipotesis para ulama yang tersebar dalam khazanah
literatur fikih yang kaya tersebut.
Pertanyaannya
sekarang adalah apakah yang dipelajari dan diajarkan
di Fakultas Syari'ah IAIN? Apakah singkron antara
nama dengan entitas yang diberi nama? Hasil pelurusan
terhadap kurikulum Fakultas Syari'ah selama ini, dapat
disimpulkan bahwa yang dipelajari memang syari'ah
yang bukan hanya terfokus pada fikih, apalagi terbatas
pada hukum semata. Oleh karenanya, dari sisi ini,
penamaan fakultas ini dengan Fakultas Syari'iah telah
tepat dan oleh karenanya patut dipertahankan.
Namun
demikian sesuai dengan uraian sebelumnya di atas,
syari'ah merupakan suatu bidang kajian yang sangat
luas, hingga akhirnya mengakibatkan terjadinya kurikulum
yang sangat berat, atau berujung pada pendangkalan
kemampuan peserta didik. Mahasiswa mengetahui banyak
hal, tetapi tidak ada satu bidangpun di antaranya
yang dikuasai secara profesional. Ini tentu menuntut
adanya pembidangan spesialisasi keilmuan yang lebih
fisibel dan penekanan yang lebih praksis.
Ketetapan
penamaan ini juga telah diakui secara legal-formal
dan diterima dalam praktik profesional. Walaupun tidak
tercantum dalam UUD 1945, tetapi secara historis,
kata 'syari'at' termaktub dalam Piagam Jakarta. Selanjutnya
UU No. 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama secara
gamblang mencantumkan istilah 'Sarjana Syari'ah' dalam
berbagai pasal dan penjelasannya.6 Lembaga peradilan
di kalangan umat Islam di luar Jawa, sebelum diundangkannya
UU No. 7/1989, juga banyak dikenal sebagai mahkamah
syari'ah.
Di
kalangan praksis hukum, kata ini telah terpakai dan
diterima luas. Mahkaman Agung, sebagai lembaga yudikatif
tertinggi di Republik Indonesia, contohnya dalam Surat
Edaran MA No. MA/Kumdil/1589/IX/1998 tertanggal 2
September 1998, menyebutkan bahwa salah satu syarat
untuk mengikuti Ujian Teknis Hukum bagi Pengacara
Praktik adalah "Sarjana Hukum atau Sarjana Syari'ah'.
Kenyataan bahwa semua lulusan IAIN kemudian diberi
gelar Sarjana Agama (S. Ag.) mengaburkan kompetensi
alumni Fakultas Syari'ah dan mempersulit mereka ketika
ingin berkiprah di dunia profesi. Hal ini patut menjadi
perhatian semua pihak terkait untuk memperjelas permasalahan
ini dan mempertahankan istilah 'Sarjana Syari'ah'
sebagai alternatif terbaik.
Syari`ah
dan Studi Islam
Mengacu
pada ketentuan-ketentuan yang termaktub pada UU No.
2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (USPN) dan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 30/1990 tentang Pendidikan
Tinggi, maka tujuan lembaga pendidikan tinggi negeri
yang mengkhususkan diri pada kajian keislaman ini
dirumuskan oleh RIP (Rencana Induk Pengembangan) IAIN
sebagai berikut: IAIN bertujuan untuk membantu terbinanya
sarjana Islam, yang memiliki kemampuan akdemik dan/atau
professional yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, bersikap rasional
dan dinamis, berpikir filosofis, berpandangan luas
dan mampu bekerjasama dalam rangka pengembangan ilmu
dan teknologi serta seni untuk kepentingan nasional.7
Yang
menjadi obyek dan ruang lingkup studi di IAIN adalah
Islam. Apakah yang dimaksud dengan Islam di sini?
Studi Islam paling tidak mencakup tiga bidang pokok.
Yang pertama Islam sebagai ajaran, yang terwujud dalam
bentuk wahyu Ilahi yang terhimpun dalam al-Qur'an
dan dalam bentuk Sunnah yakni panduan Rasulullah SAW.
bagi umatnya yang terhimpun dalam hadist. Dalam hal
ini studi Islam bertumpu pada studi kewahyuan yang
diwujudkan dalam bentuk matakuliah sumber al-Qur'an
dan al-Hadist sekalian dengan perangkat ilmu-ilmu
al-Qur'an ('ulum al-Quran) dan ilmu-ilmu Hadist ('ulum
al-Hadist). Ilmu-ilmu ini, sejak beberapa waktu yang
lalu menjadi jurusan Tafsir-Hadist di Fakultas Ushuluddin
dan merupakan program studi khusus pada tingkat pascasajrana.
Selanjutnya
Islam juga dikaji sebagai bagian dari pemikiran, sebagai
bagian dari fiqh dalam arti luas, sebagaimana diperintahkan
Allah SWT. dalam al-Qur'an. Dalam sejarah perkembangan
pemikiran Islam (Islamic thought) terlihat ada lima
bidang pemikiran Islam yang menojol, yaitu: akidah-teologi
('ilm al-kalam), hukum dalam arti luas (syari'ah),
filsafat (hikmah/'irfan/falsafah), akhlak-sufisme
(tashawuf). Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)
dan seni-budaya Muslim masih sangat minim dikaji di
Perguruan Tinggi Islam, termasuk IAIN, yang sebenarnya
mencakup bidang yang cukup luas, mulai ilmu hitung
('ilm al-hisab) dan matematika sampai arsitektur ('ilm
al-handasah) dan astronomi ('ilm al-falak).
Islam
pada tingkat berikutnya merupakan pengalaman dan penerapannya
dalam kehidupan. Bersumberkan pada al-Qur'an dan Sunnah
yang kemudian dijabarkan dalam berbagai pemikiran,
ajaran Islam kemudian diamalkan dan diterapkan oleh
umat Islam hingga membentuk peradaban Islam yang telah
berabad-abad menyinari dunia. Islam sebagai pengalaman
yang menonjol dikaji dan dikembangkan IAIN selama
ini adalah aspek pendidikan (tarbiyah), dakwah dan
tentu saja hukum, sedangkan aspek-aspek lain kelihatannya
masih terabaikan.
Dari
uraian di atas, jelaslah terlihat bahwa ilmu-ilmu
agama Islam dan/atau ilmu pengetahuan keislaman (Islamic
knowledge) mencakup berbagai disiplin yang membentang
bukan saja dalam lingkup ilmu agama teologi an sich,
tetapi ilmu-ilmu sosial (social sciences), ilmu-ilmu
alam (natural sciences) dan humanitas (humanities).
Sejalan dengan perkembangan keilmuan, studi Islam
juga menerapkan pendekatan inter dan multidisipliner
yang banyak menelurkan ilmu-ilmu baru. Adalah sesuatu
yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga tidak
realistis, mengungkung studi keislaman dalam lingkaran
fokus pengkajian Islam tradisional, apalagi jika ditautkan
dengan kondisi umat Islam yang mengalami stagnasi
pada masa kemunduran peradaban Islam sejak abad ke-13
hingga ke-19. Kebangkitan (kembali) umat Islam yang
dicanangkan dengan masuknya abad ke-15 Hijrah tidak
akan terwujud tanpa dilandasi dengan tumbuh-kembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi yang Islami di kalangan
umat Islam.
Dari
sisi lain, sebenarnya setiap disiplin ilmu memiliki
aspek teoritis dan aspek terapan, meskipun banyak
yang memilah diri dalam ilmu yang berbeda. Di samping
yang disebut di atas, dalam tradisi keilmuan umat
Islam, dikenal juga banyak ilmu lain yang pernah berkembang,
antara lain ilm al-'umran (ilmu kemakmuran), 'ilm
tazkiyat al-nafs (ilmu kesehatan jiwa), 'ilm al-iqtisad
(ilmu ekonomi), 'ulum al-mujtama' (ilmu-ilmu sosial)
dan masih banyak yang lain. Dari segi materi, metodologi
dan nilai, ilmu-ilmu tersebut, di balik banyak persamaan,
terdapat perbedaan dengan yang dikembangkan dari disiplin-disiplin
astronomi, sosiologi, ekonomi dan psikologi yang dikembangkan
di universitas-univesitas konvensional, yang umumnya
diimpor dari tradisi keilmuan Barat. Pemaduan kedua
tradisi tersebut barangkali menjadi tugas penting
IAIN. Dari segi inilah, gagasan untuk mengembangkan
IAIN menjadi universitas, atau dengan memperluas cakupan
kewenangan kajiannya (with wider mandate) merupakan
langkah strategis yang patut ditindaklanjuti. Dalam
kerangka ini jugalah pengembangan studi syari'ah di
IAIN dapat ditilik.
Bertolak
dari dasar pemikiran di atas, maka studi Hukum Islam,
atau lebih tepat kajian syari'ah, mencakup tiga bidang,
yakni studi kewahyuan sebagai sumber utama hukum Islam,
studi pemikiran yang mengurai perkembangan pemikiran
tentang hukum di kalangan umat Islam dan studi terapan
yang mengkaji pengalaman dan implementasi serta perkembangan
interaksi kaidah-kaidah tingkah-laku tersebut dengan
kondisi empiris masyarakat Muslim.
Perbincangan
ini terkait erat dengan perdebatan di kalangan para
pengkaji hukum Islam kontemporer tentang apakah syari'ah
itu 'subtantive rules' atau metodologi. Pengkajian
lebih mendalam sebenarnya menunjukkan bahwa syari'ah
memang mengandung kedua unsur tersebut, meskipun pergeseran
telah sering terjadi baik ke kaidah hukum substantif
maupun lebih ke teori dan metodologi hukum. Namun
demikian patut dicermati pengamatan beberapa pakar
bahwa sisi syari'ah sebagai metodologi dan teori hukum
telah mengantarkan umat Islam ke zaman keemasan, dan
bahwa ketika syari'ah lebih ditonjolkan sebagai kaidah
hukum substantif, umat Islam diliputi suasana kemandegan,
bahkan kemunduran.8
Perbincangan
ini mengarahkan perhatian pada persoalan tentang apakah
proses belajar-mengajar di Fakultas Syari'ah lebih
terfokus pada pendidikan akademis atau profesional.
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa studi
syari'ah pada tingkat Perguruan Tinggi melingkupi
baik pendidikan akademis dan juga pendidikan profesional.
Oleh karenanya, setiap fakultas harus menentukan pilihannya,
dan tidak tertutup, malah lebih baik, mengembangkan
keduanya. Namun harus dipilah antara program akademis
dari yang profesional. Program akademis terutama ditujukan
untuk peserta didik yang melanjutkan ke jenjang yang
lebih tinggi, strata dua dan tiga. Konsekuensi logisnya
adalah kurikulum yang ditawarkan kepada mereka juga
menjadi berbeda penekanan dan metodenya. Adalah keliru
memaksakan kurikulum yang padat dengan pematangan
akademis bagi mereka yang lebih tertuju pada persiapan
profe-sional. Ini terlihat dari terlalu dipaksakannya
setiap mahasiswa yang harus menulis skripsi yang terkadang
jauh relevansinya dari dunia kerja yang akan dihadapi
di kemudian hari, sedangkan suatu program kerja lapangan
atau magang (interupship) mungkin lebih bermanfaat.
Tidak
jelasnya visi Fakultas Syari'ah dari sisi apakah ia
program akademis atau professional juga terlihat dari
terlalu idealnya target yang dicanangkan bagi lulusannya,
sehingga tamatan dari strata satu (sarjana agama)
diharapkan bisa menjadi konseptor, mujaddid, dan sebagainya.
Kompetensi minimal seorang tamatan strata satu adalah
seorang tenaga ahli pelaksana, sedangkan kemampuan
mengembangkan penerapan iptek dalam peran improvisasi
dan inovasi proses adalah kompetensi tamatan strata
dua, yang kemudian ditingkatkan menjadi kemampuan
mengembangkan dan menciptakan iptek bagi lulusan strata
tiga.
Adalah
kecenderungan selama ini para perencana dan pengelola
program studi syari'ah berpikir terlalu 'ideal' hingga
menjejali kurikulum (overburden curriculum) dengan
berbagai matakuliah, sebagaian bersifat 'pesanan'
dan yang lain bersifat 'warisan', yang memandang ideal
tetapi kurang relevan dengan upaya penyiapan peserta
didik dalam menghadapi dunia profesi. Ini terkait
erat dengan tidak jernihnya perumusan tujuan program
dan sosok lulusan yang ingin dicapai. Uraian satuan
pelajaran yang diberikan, contohnya, lebih mempersiapkan
mahasiswa sebagai ahli 'sejarah' hukum yang berkutat
dengan pemikiran legal-ideal masa lalu, tetapi kurang
mempersiapkan mereka sebagai ahli hukum yang bergulat
menghadapi problema hukum positif masa kini.9
Salah
satu misi penting Perguruan Tinggi adalah mempersiapkan
tenaga ahli yang dibutuhkan oleh masyarakat. Yang
dibutuhkan masyarakat itu tentu bermacam-macam. Hampir
mustahil dengan program studi formal di Perguruan
Tinggi menghasilkan lulusan yang menguasai segalanya
tentang hukum Islam. Oleh sebab itu harus diperjelas
spesialisasi dan dipilah bidang studinya. Pemekaran
spesialisasi, oleh karenanya penghapusan jurusan,
adalah hal yang lumrah dalam dunia Perguruan Tinggi,
hingga tidak perlu harus bertahan bahwa jurusan/program
studi yang ada harus permanen.
Oleh
sebab itu, salah satu cara penilikan yang harus dilakukan
adalah dengan menengok sosok lulusan bagaimanakah
yang telah dan ingin dihasilkan oleh program studi
ini. Hal ini tentu terkait dengan kondisi dan proyeksi
lapangan kerja yang ada dan yang berkembang.10
Fakultas
Syari'ah IAIN bertujuan untuk menyiapkan peserta didik
menjadi sarjana yang memiliki kemampuan akademik dan
profesional yang menguasai, menerapkan, dan/atau menciptakan
ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni serta mengupayakan
penggunaannya untuk meningkatkan tarap kesejahteraan
masyarakat dan memperkaya kebudayaan dalam bidang
kesyari'ahan. Para alumni Fakultas Syari'ah dipersiapkan
untuk mengemban profesi yang pengetahuan dan keterampilan
dalam disiplin ilmu kesyari'ahannya merupakan persyaratan
dasar.
Sejak
awal berdirinya, Fakultas Syari'ah ditujukan terutama
untuk menyediakan tenaga ahli dalam bidang birokrasi
pemerintahan yang menguasai hukum Islam yang memang
sedang sangat dibutuhkan, terutama untuk mengisi jabatan
hakim di jajaran peradilan agama dan jabatan lain
dalam lingkup Departemen Agama.
Peradilan
agama telah melewati masa perkembangan yang panjang
dan berliku dalam sejarah peradilan di Indonesia.
Diawali dengan diterimanya hukum dan peradilan Islam
pada 1884 sebagai lembaga penyelesaian sengketa perkara
antarumat Islam hingga dikukuhkannya Peradilan Agama
sebagai bagian integral dari sistem peradilan nasional
dengan disahkannya UU No. 7/1989 tentang Peradilan
Agama.
Hingga
pertengahan 1970-an Peradilan Agama dikelola oleh
para hakim yang mayoritas hanya berpendidikan menengah
dan banyak yang hanya menyerap pendidikan agama tradisional.
Mereka pada dasarnya adalah tokoh ulama setempat yang
bekerja part-time (paruh waktu) sebagai hakim honor.
Pada awal 1960-an, pemerintah mendirikan PHIN (Pendidikan
Hakim Islam Negeri) di Yogyakarta yang mendidik secara
ikatan dinas calon-calon hakim agama. Sama halnya
dengan rekannya, Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN),
PHIN hanya setingkat sekolah menengah (secondary schools),
sedangkan pengadilan umum telah lama menerapkan persyaratan
kesarjanaan bagi para hakimnya. Hal ini menimbulkan
masalah dalam kualitas yustisial dan kepangkatan kepegawaian
mereka.
Hasil
survei di lapangan menunjukkan bahwa Fakultas Syari'ah
ternyata mengembangkan karir di banyak lapangan pekerjaan.
Secara tradisional, seorang faqih (ahli fikih), disamping
hakim (qadhi) sebagai profesi utamanya, juga berkarir
sebagai mufti (legal-consul), guru-dosen (ustadz)
dan pembimbing ibadah-keagamaan masyarakat (imam,
kiyai, mualim). Banyak alumni Syari'ah yang berperan
baik sebagai guru, meskipun tidak mendalami ilmu tarbiyah
secara formal, atau menjadi muballigh-da'i sukses,
yang seharusnya lebih dipersiapkan bagi tamatan Fakultas
Dakwah. Keunggulan alumni Syari'ah adalah penguasaan
mereka atas syari'ah-fikih dan kemahiran dalam berbagai
ilmu alatnya. Namun demikian, jumlah alumni Syari'ah
yang menggeluti professi hukum, di luar peradilan
agama, masih sangat minim. Hal ini terutama masih
banyaknya rintangan struktural. Selama ini posisi
yang tersedia terbatas hanya untuk menjadi pengacara
praktik dalam lingkup peradilan agama, baru belakangan
ini terbuka dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah
Agung, yang telah disingung sebelumnya. Semua ini
terkait erat dengan kondisi perkembangan politik hukum
di Indonesia.
Posisi
Hukum Islam
Pengembangan
hukum nasional dilandasi oleh tiga wawasan, yaitu
Wawasan Kebangsaan, Wawasan Nusantara dan Wawasan
Bhinneka Tunggal Ika. Ketiga wawasan tersebut mengacu
kepada tujuan pembangunan hukum nasional, yaitu terwujudnya
Sistem Hukum Nasional. Dengan wawasan ini, pembangunan
hukum nasional melingkupi tiga komponen pokok , yaitu
perangkat hukum, tatanan hukum dan budaya hukum.11
Dari
aspek perangkat hukum, pembangunan terarah pada pembangunan
asas, kaidah dan norma hukum nasional, termasuk penyusunan
peraturan perundang-undangan dan pembangunan yurisprudensi.
Dari aspek tatanan hukum, pembangunan hukum nasional
mencakup pengembangan organisasi, kelembagaan, skruktur
dan mekanisme hukum, pembinaan aparatur dan peningkatan
sistem jaringan dokumentasi dan informasi hukum. Sedangkan
dari aspek budaya hukum, pembangunan diarahkan untuk
membina dan mengembangkan filsafat, kesadaran, profesionalisme
dan pendidikan nasional.
Setiap
langkah pengembangan dalam setiap aspek pembangunan
hukum di atas, hukum Islam telah dan akan memberi
kontribusinya yang bermakna. Lembaran sejarah menunjukkan
bahwa di wilayah Nusantara telah berkembang paling
tidak tiga sistem hukum, yaitu sistem hukum adat,
sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat. Hukum adat
sendiri sebelum datang dua sistem hukum yang lain
telah menerima pengaruh hukum Hindu dan dari beberapa
peradaban luar lainnya. Hukum yang berasal dari Barat,
meskipun bertumpu pada hukum yang dikonkordansikan
dari hukum di Negeri Belanda, juga menerima pengaruh
dari sistem hukum lainnya, terutama Perancis dan Inggris.
Interaksi antarberbagai sistem hukum inilah yang berkembang
dan berlaku selama zaman pra-kemerdekaan, namun supremasi
kepentingan kolonial sangat menonjol.
Fungsi
dan kedudukan hukum Islam sendiri dalam konstelasi
hukum positif di Indonesia, oleh karenanya, mengalami
fluktuasi. Hukum Islam pernah diakui sebagai hukum
yang berlaku, baik formal maupun aktual, dalam berbagai
kerajaan dan kesultanan di berbagai wilayah Nusantara.
Selama fase pertama kekuasaan kolonial, penjajah mengambil
kebijaksanaan non-interferensi dan menganut teori
receptie in complexu, menyatakan bahwa hukum Islam
berlaku sepenuhnya dan seluruhnya bagi setiap warga
pribumi yang Muslim. Belakangan, teori ini digeser
oleh teori receptie, yang menyimpulkan bahwa penduduk
pribumi Nusantara meskipun telah memeluk Islam tidak
dengan sendirinya mengamalkan hukum Islam, tetapi
baru mengikuti kaidah hukum Islam jika telah diterima
sebagai bagian dari hukum Adat mereka.
Setelah
kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus
1945 dan UUD 1945 dinyatakan berlaku, maka keberadaan
hukum Islam menjadi bahan perbincangan kembali sejalan
dengan semangat merdeka di bidang hukum. Secara umum,
para akademisi dan praktisi hukum terpilah atas dua
kelompok. Yang satu berpendapat bahwa berdasarkan
Aturan Peralihan UUD 1945, peraturan perundangan yang
berlaku di masa pemerintahan Hindia Belanda masih
berlaku selama belum diadakan peraturan baru sesuai
dengan UUD 1945. Ini berarti seluruh perangkat peraturan
dan kebijaksanaan kolonial --termasuk teori receptie-selama
belum diciptakan yang baru masih tetap berlaku.
Kelompok
kedua berpendirian bahwa UUD 1945 telah berisi diktum-diktum
tentang dasar negara Pancasila, yang sila pertamanya
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan tentang kedudukan
agama dalam pasal 29, maka semua yang bertentangan
dengan ketentuan itu, termasuk teori receptie, tidak
berlaku lagi. Ini diperkuat dengan Maklumat Presiden
No. 2/1945 tanggal 10 Oktober 1945, yang memberikan
batasan bahwa hukum yang berlaku hanyalah hukum yang
tidak bertentangan dengan UUD 1945 saja.12 Di bawah
naungan UUD 1945, hukum Islam mendapat kedudukan mandiri
yang tidak lagi disandarkan keberlakuannya pada hukum
adat. Para pendukung pemahaman ini malah menyatakan
bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan
dengan hukum Islam, teori inilah yang disebut 'receptio
a contrario'.13
Teori
ini juga didukung oleh berbagai hasil penelitian yang
dilakukan terutama oleh BPHN (Badan Pembinaan Hukum
Nasional) dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Penelitian tersebut menunjukkan adanya kecenderungan
kuat bahwa orang Islam menghendaki dan memperlakukan
hukum Islam dalam kehidupannya, termasuk dalam bidang
hukum perkawinan dan kewarisan. Posisi hukum selanjutnya
tidak lagi ditentukan oleh politik hukum kolonial,
tetapi diselaraskan dengan kebijakan hukum nasional,
terutama sebagaimana digariskan dalam GBHN (Garis-garis
Besar Haluan Negara). Kebijakan yang kelihatannya
telah diterima adalah bahwa dalam konteks pembinaan
hukum nasional, hukum Islam menjadi salah satu bahan
dan sumber, selain dari hukum adat dan hukum Barat.
Pada penggal terakhir masa Orde Baru, ketika tuntutan
keadilan mayoritas bangsa Indonesia yang beragama
Islam tidak bisa diabaikan lebih lama lagi, kedudukan
hukum Islam semakin mencuat. Titik-balik kebijaksanaan
barangkali bisa diwakili dengan gejolak yang mendahului
lahirnya UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, kemudian
disusul oleh UUD No. 7/1989 tentang Peradilan Agama.
Gelombang reformasi yang diperjuangkan mahasiswa,
akhirnya makin mempertegas supremasi hukum dan perundang-undangan
serta memperkuat kedudukan nilai-nilai agama dalam
berbangsa dan bernegara.
Arah
Pengembangan Strategis
Uraian
di atas menampakkan suatu kenyataan betapa kompleksnya
latar-belakang perkembangan hukum di Indonesia, hingga
visi yang dicuatkan tentang hukum Islam oleh berbagai
pihak menjadi sangat beragam. Hasil telusuran perkembangan
masa lalu menunjukkan betapa hukum Islam telah berperan
penting dan memberi banyak kontribusi positif bagi
terwujudnya sistem hukum nasional di negara yang merupakan
negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia saat ini.
Telaah berbagai faktor empiris dan proyeksi perkembangannya
di masa depan semakin memperkuat kududukan hukum Islam
di Indonesia. Semua ini menunjukkan bahwa masa depan
menawarkan berbagai kesempatan bagi pengembangan hukum
Islam Indonesia, tetapi sekaligus juga menampilkan
banyak tantangan yang jika tidak disikapi dengan cermat
dan arif akan memperkecil dan, bukan tidak mungkin,
menghilangkan eksistensi hukum Islam di dalam kehidupan
bagsa ini.
Studi
hukum Islam dalam peringkat pendidikan tinggi (higher
learning) harus memiliki visi dan misi yang relevan
dan terarah, tentunya berbeda dari peringkat dasar
dan menengah. Secara umum bisa diselaraskan dengan
apa yang tercantum dalam rumusan KPJP-PT 1996-2005
sebagai 'Wawasan 2018' yang merupakan suatu visi gambaran
ideal masa depan yang harus diperjuangkan oleh Perguruan
Tinggi:
&ldots;.
Menjadi unsur terkemuka dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa, mengembangkan masyarakat ilmiah, memelihara,
mengembangkan dan menyebarkan kebudayaan yang berdasarkan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; serta membangun
manusia Indonesia seutuhnya yang taqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berahlak tinggi, berbudaya Indonesia,
bersemangat ilmiah, yang mengausai ilmu pengetahuan
dan teknologi dengan wawasan luas bagi kebijakan dan
kemajuan manusia, kehidupan masyarakat, dan budaya
bangsa.14
Oleh
karenanya, visi yang paling fundamental barangkali
adalah kejernihan memandang bahwa Fakultas Syari'ah
khususnya dan IAIN umumnya pada dasarnya adalah lembaga
pendidikan tinggi (higher learning institution), tegasnya
lembaga ilmiah yang harus dikelola dan dikembangkan
sesuai dengan prinsip ilmiah dan akademis. Memandang
lembaga ini lebih sebagai lembaga dakwah, dalam arti
sempit, apalagi sebagai institusi birokratis yang
kaku, hanya akan mempersulit pengembangan lembaga
itu sendiri, terlebih dalam era global dewasa ini.
Dengan
memperbandingkan tujuan pendidikan hukum secara umum,
maka program studi hukum Islam di IAIN seyogianya
diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik menjadi
sarjana yang (1) mengenal hukum Islam secara menyeluruh
dan menguasai bagian hukum Islam yang menjadi bidang
konsentrasi studinya, (2) mengenal hukum positif di
Indonesia secara umum dan menguasai bagian hukum positif
Indonesia yang menjadi bidang konsentrasinya, (3)
menguasai landasan ilmiah dan dasar-dasar kemahiran
kerja untuk mengembangkan hukum dan ilmu hukum, (4)
mengenal dan peka terhadap masalah-masalah keadilan
dan kemasyarakatan, (5) memiliki kemampuan menganalisis
masalah-masalah hukum dan masyarakat, dan (6) mempunyai
kemampuan mempergunakan hukum sebagai sarana untuk
memecahkan problema kemasyarakatan (law as social
engineering) dengan adil dan bijaksana serta berdasar
pada prinsip-prinsip syari'ah.
Hukum
sebagai rekayasa sosial yang belakangan ini makin
disadari oleh para pemikir dan para praktisi hukum
mendorong para eksponen hukum Islam menyadari peran
penting dan strategis yang bisa dimainkan oleh syari'at
Islam. Prinsip-prinsip syari'ah serta warisan pemikiran
dan sejarah penerapannya yang begitu kaya dapat menawarkan
alternatif dan solusi bagi permasalahan dan dilema
masyarakat modern sekarang ini serta untuk mengarahkan
perkembangan di masa depan. Pengalaman sistem hukum
Barat yang sekularistis, bahkan anti-religi, serta
terlepasnya nilai-nilai moral dari sistem hukum dapat
memperoleh masukan dari idealisme dan pengalaman sistem
hukum Islam.
Di
samping berbagai kesempatan (opportunities) yang bisa
dimanfaatkan serta banyak tantangan (challenges) yang
harus dihadapi dalam pengembangan studi hukum Islam,
yang lebih penting barangkali menjernihkan visi dan
memantapkan misi para perencana, pengelola dan peserta
studi hukum Islam itu sendiri. Masih ditemukan dikalangan
pengelola dan tenaga pengajar yang terikat kuat secara
dogmatis pada fikih hingga tingkat pensakralan yang
tidak proporsional. Hal ini mengakibatkan apa yang
diajarkan bukan metodologi berpikir para fuqaha' masa
lalu yang begitu tekun dan cerdas, tetapi sekadar
pengalihan produk akhir pemikiran terdahulu. Kekakuan
ini makin diperparah dengan ketidakmampuan memahami
perkembangan hukum modern yang oleh karenanya mengalami
kesulitan untuk menempatkan hukum Islam dalam perkembangan
hukum secara komprehensif.
Secara
umum, pendidikan nasional Indonesia dewasa ini terperangkap
dalam sistem yang kaku dan sentralistik, dijangkiti
oleh praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta
orientasi bukan pada pemberdayaan rakyat.15 Pendidikan
Islam, yang merupakan sub-sistem dari sistem pendidikan
nasional tersebut, tidak terlepas dari cengkeraman
wabah ini.
Mengingat
beragamnya kondisi internal yang dimiliki oleh masing-masing
daerah dan mencermati luas dan beragamnya situasi
lingkungan yang meliputinya, mutlak diperlukan adanya
otonomisasi dan diversifikasi studi hukum Islam, hingga
lebih relevan dengan kondisi obyektif masa kini dan
proyeksi masa depan masing-masing. Yang barangkali
perlu dikembangkan adalah jaringan (network) antara
berbagai pusat studi dan berbagai lembaga sejenis,
terkait dan pendukung lainnya.
Dengan
meminati berbagai uraian di atas, maka dapatlah makin
disadari bahwa studi hukum Islam di IAIN telah memainkan
peranan penting dan telah memberikan kontribusi postif
bagi perkembangan umat dan bangsa. Namun demikian,
semua itu juga menyadarkan semua pihak bahwa mutlak
diperlukan pengembangan untuk melestarikan keunggulan
serta menjawab tantangan masa kini dan mengarahkan
perkembangan di masa depan.
Semua ini menuntut adanya suatu perencanaan yang terarah
dan upaya kongkrit yang lebih komprehensif dan berkesinambungan
untuk memperbaiki struktur dan meningkatkan kultur.
Dari segi struktur patut dilakukan suatu kajian ulang
hingga bisa menawarkan organiasasi yang lebih fisibel
bagi tatanan kejurusan, program studi, kurikulum serta
variabel proses dan piranti pendukung lainnya. Status
Fakultas dan kedudukan alumni Syari'ah dalam konstelasi
institusi pendidikan tinggi hukum di negeri ini harus
ditingkatkan. Seleksi dan promosi tenaga pengajar
harus lebih didasarkan atas meritokrasi dan profesi.
Perpustakaan harus menjadi prioritas untuk dilengkapi.
Perbaikan
apapun dari segi struktur tidak akan berhasil banyak,
malah bisa menjadi bumerang, jika tidak dilandasi
oleh perubahan kultur. Terbinanya sikap ilmiah yang
mantap serta budaya akademis yang baik di kalangan
sivitas akademika menjadi mutlak diperlukan. Pandangan
bahwa tugas seorang dosen hanya ketika bertatap muka
di kelas, tanpa mengindahkan dan mengarahkan aktivitas
akademis berstruktur dan kegiatan ilmiah mandiri,
sebagaimana masih umum diperaktikkan selama ini, harus
segera diubah. Gabungan dari perbaikan struktural
dan kultural inilah yang akan mengantarkan studi hukum
Islam di IAIN khususnya dan Perguruan Tinggi umumnya,
ke masa depan yang lebih cerah dan peran yang lebih
aktif-konstruktif bukan saja bagi kemaslahatan umat
Islam tetapi demi kesejahteraan bangsa Indonesia seluruhnya,
bahkan bagi kemajuan kemanusiaan. Bukankah Nabi Muhammad
SAW. yang diutus Allah dengan membawa syari'at Islam
demi untuk kepentingan alam semesta (rahmah li al-'alamin)?
Dari
keseluruhan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
hukum Islam telah memainkan peran yang penting dan
bermanfaat bagi eksistensi dan kelangsungan umat Islam
dan bagi perkembangan bangsa Indonesia. Hukum Islam
telah teruji dalam kenyataan sejarah sebagai sistem
hukum yang dinamis dan terarah, yang kreatif tetapi
integratif. Hukum Islam ternyata telah berperan positif
bagi pengembangan bangsa Indonesia, sehingga penghadapan
dikotomis antara hukum Islam dengan negara-bangsa,
atau dengan sistem hukum adat atau sistem hukum nasional
merupakan sesuatu yang disalah-arahkan.
Peran
aktif dan kontribusi positif hukum Islam di Indonesia
harus dilandasi oleh program studi hukum Islam yang
kondusif dan relevan untuk mengarahkan dan membangun
sistem hukum nasional. Studi hukum Islam di IAIN,
meskipun telah berhasil mengukir nama baiknya dalam
khazanah pemikiran dan pengembangan sistem hukum nasional
di negara ini, mutlak harus memperbaiki dan mengembangkan
diri untuk menjawab tuntutan masa kini dan tantangan
masa depan, hingga tidak terperangkap dalam kenangan
masa lalu. Jika tidak, Fakultas Syari'ah bisa malah
berubah menjadi sekadar benteng yang mempertahankan
tradisi lama yang telah usang, dan bukannya berkembang
sebagai pelopor dan pengarah pembangunan sistem hukum
nasional.
Catatan
Akhir
1
Uraian lebih lanjut dapat dilihat dalam makalah saya,
"Perguruan Tinggi Islam dan Penyediaan Tenaga
Pengacara di Peradilan Agama: Pengalaman dan Pengembangan
Fakultas Syari'ah" yang disampaikan dalam Seminar
Nasional "Kepengacaraan di Peradilan Agama dan
Syari'ah," IAIN-SU bekerjasama dengan Pengadilan
Tinggi Agama Sumatera Utara bertempat di Convention
Hall Garuda Plaza Hotel Medan, 22 Juli 1996.
2
Karel Steenbrink, "Recapturing the Past: Historcal
Studies by IAIN-Staff," dalam Mark R. Woodward
(ed). Toward a a New Paradigm: Recent Development
in Indonesia Islamic Thought (Tempe: Arizona State
University, 1996), halaman 160.
3 Muhammad Fuad 'Abd al-Baqi, al-Mu'ja, al-Mufahras
li-Alfazh al-Qur'an al-Karim (Indonesia: Maktabah
dahlan, tt.).
4 Lihat 'Abd al-Majid Mahmud Mathlub, Ushul al-Fiqh
al-Islami (Kairo: Dar al-Nahdhah al-'Arabiyah, 1991),
hh. 7-9 dan al-Ghazali, Al-Mustashfa, juz 1, halaman
4.
5 Ini terlihat antara lain dalam firman Allah: Sesungguhnya
Kami menurunkan al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili (menghukum) antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.. (Q, 4:105).
6 Lihat, antara lain, Pasal 13 ayat (1) poin g dari
UU No.7/1989 tersebut yang menguraikan syarat untuk
menjadi hakim pada Peradilan Agama di antaranya adalah
'sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai
hukum Islam'.
7 Lihat Rencana Induk Pengembangan IAIN 25 Tahun (Jakarta:
Departemen Agama, 1992), halaman 12-13.
8 Perbincangan lebih lanjut, baca Joseph Schanht,
"Problem of Modern Islamic Legislation,"
Studia Islamika, 12 (1960); dan Ann Elizabeth Mayer,
"The Shari'ah: a Methodology or a Body of Subtantive
Rules,' dalam Nicholas Heer (ed), Islamic Law and
Jurisprudence: Studies in Honor of Farhat J. Ziadeh
(Seattle: University of Washongton Press, 1990), halaman
177-198.
9 Indikasi bahwa kurikulum IAIN, termasuk Fakultas
Syari'ahnya, terlalu overburder dan kurang relevan
dengan permasalahan masa kini telah disinyalir banyak
pihak, antara lain Margaret Gillet, "IAIN' in
Indonesian Higher Education," Muslim Education
Quarterly, vol.8, no.1 (1990): 21-32; John Meulemen,
"IAIN di Persimpangan Jalan," PERTA: Jurnal
Pendidikan Tinggi Islam, vol.1, no.1 (1997), dan Nur
A. Fadhli Lubis, "Perguruan Tinggi Islam dalam
Menyongsong Millenium Ketiga," dalam Syahrin
Harahap (ed). Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi
(Yogya; Tiara Wacana, 1998): halaman 21-41.
10 Mengenai pentingnya hal ini, lihat tulisan H. A.
R. Tillar, "Paradigma Baru Pendidikan Tinggi
dalam Menciptakan Tenaga Kerja Professional Era Millenium
Baru," dalam bukunya Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional dalam Persfektif Abad 21 (Magelang:
Tera Indonesia, 1998): halaman 171-192.
11 Uraian lebih rinci, lihat Sunaryanti Hartono, "Pembinaan
Hukum Nasional pada Pembangunan Jangka panjang Tahap
II dalam Konteks Hukum Islam" Mimbar Hukum, No.
8 Thn.1993, halaman 1-18.
12 Perbincangan lebih lanjut tentang hal ini, lihat
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional (Jakarta: Raja Granfindo Persada, 1994).
13 Lihat Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Jakarta:
Bina Aksara, 1985) dan Politik Hukum Baru Mengenai
Kedudukan dan Peran Hukum Adat dan Hukum Islam dalam
Pembinaan Hukum Nasional (Bandung: Binacipta, 1987)
14 Sebagai dikutip oleh Willi Toisuta, "Indikator
Kinerja dan Kriteria Penilaian Program Pasca Sarjana,"
Depdikbud, Jakarta, 1999.
15 Bandingkan H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan dalam Perspektif Abad 21 (Magelang, Tera
Indonesia, 1998), halaman 17-19.
Kepustakaan
Ali,
Muhammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996).
________,
'Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia: Kedudukan
dan Pelaksanaan,' Mimbar Hukum, No.29. Thn.VII 1996,
hh. 7-16.
________,
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia
(Jakarta: Yayasan Risalah, 1984).
Arifin,
Bustanul, 'Sarjana Syari'ah dan Profesi Kepengacaraan.'
Mimbar Hukum, No. 37 Thn IX, hh. 30-31.
Ashraf,
Syed Ali, 'Educatoin and Values: Islamic vis-à-vis
the Secularist Approaches,' Muslim Education Quarterly
(Cambridge: Islamic Academy), vol. 4, No. 2 (Winter
1987): 4-16.
Darmadi,
Sugiyanto, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan Filsafat:
Sebuah Eksplorasi Awal menuju Ilmu Hukum yang Intergarlistik
dan Otonom (Bandung: Mandar Maju, 1998).
Dirbinpertais,
Depag RI., Topik Inti Kurikulum Nasional Perguruan
Tinggi Agama Islam: Fakultas Syari'ah (Jakarta: Depag
RI., 1998).
Gillet,
Margaret, 'IAIN in Indonesian Higher Education,' Muslim
Education Quarterly, vol. 8 No. 1 (1990): 21-32.
Hallaq,
Wael B, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction
to Sunni Usul al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University
Press, 1997).
Hartono,
Sunaryanti, 'Pembinaan Hukum Nasional pada Pembangunan
Jangka Panjang Tahap II dalam Konteks Hukum Islam.'
Mimbar Hukum, No. 8 Thn. IV 1993, hh. 1-8.
Heer,
Nicholas (ed.), Islamic law and Jurisprudence: studies
in Honor of Farhat J. Ziadeh (Seattle: Univesity of
Washington Press, 1990).
Lubis,
Nur A. Fadhil. 'Perguruan Tinggi Islam dalam Menyongsong
Milenium Ketiga: Peluang dan Tantangan di Tengah Makin
Berkiprahnya Perguruan Tinggi Asing di Indonesia,'
dalam Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi. Editor
Syahrin Harahap (Yogya: Tiara Wacana, 1998), hh. 21-41.
________,
"Islamic Justice in Transition: A Socio-legal
Study on the Judges of Agama Cuorts in Indonesia,"
Ph. D. Dissertation (Los Anggeles: UCLA, 1994).
________,
Hukum Islam: Dalam Kerangka Teorities Fiqh dan Tata
Hukum Indonesia (Medan: Pustaka Widyasarana, 1995).
________,
"Institutionalization and Unification of Islamic
Courts under Indonesia's New Order" Studia Islamika,
vol. 2, No. 1 (1995): 1-51.
________,
"Islamic Legal Literature and substantive Law
in IndonesiaI," Studia Islamika, vol.4, No. 4
(1997): 35-92.
Maarif,
M. Syafi'I, 'Peranan Perguruan Tinggi dalam Pembangunan
Hukum di Indonesia,' dalam al-Qur'an, Realitas Sosial
dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi) (Bandung: Mizan,
1985), hh.71-79.
________,
"IAIN dan Tantangan," dalam al-Qur'an, Realitas
Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi) (Bandung:
Mizan, 1985), hh. 83-88.
Meuleman,
Johan, "IAIN di Persimpangan Jalan," PERTA:
Jurnal Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Departemen
Agama), vol. 1, no. 1 (September 1997).
Raharjo,
M. Dawam, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik
Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim (Bandung: Mizan,
1993).
Steenbrink,
Karel, "Recapturing the Past: Historical Studies
by IAIN-Staff," dalam Mark R. Woodward (ed).
Toward a New Paradigm: Recent Developments in Indonesian
Islamic Thought (Tempe: Arizona State University,
1996).
Tilaar,
H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional
dalam Persfektif Abad 21 (Magelang: Tera Indonesia,
1998).
Wahyono,
Padmo, Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia (Jakarta:
Widjaja & Yayasan Tritura 66, 1990).