Kamis, 29 Maret 2012

Al-qur'an Sebagai Sumber Hukum Islam yang Pertama dan Utama


Prolog :

      Al-Qur’an bersifat global (mujmal) yang memerlukan perincian.  Misalnya perintah shalat, shaum maupun haji hanyalah dengan kalimat singkat : aqimis shalat, kutiba ‘alaikum as-shiam, wa atimmu alhajj, sedangkan tentang tatacara mengerjakannya tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Untuk menjelaskannya, datanglah Rasulullah SAW memberikan penjelaskan, dari mulai tatacara shalat, berrumah tangga, berekonomi sampai urusan bernegara. Penjelasan rasul itu disebut Sunnah Rasul.  Setelah Rasul wafat, permasalahan umat tetap bermunculan misalnya persoalan bayi tabung, inseminasi, euthanasia, dll. Persoalan demikian belum terakomodir di dalam Al-Qur’an maupun hadits, oleh karena itu memerlukan sumber hukum yang ketiga, yakni ijtihad.

      Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan menggunanakan bahasa Arab.  Agar fungsi Al-Qur’an  sebagai hidayah (guidance) atau way of life benar-benar efektif, maka  Al-Qur’an bukan saja perlu diterjemahkan tetapi perlu jiuga ditafsirkan. Cara menafsirkan Al-Qur’;an bisa menggunakan dua pendekatan, yakni tafsir Tahlili dan tafsir Maudhu’i. Kini banyak tokoh-tokoh Islam aliran rasional Liberal, yang menafsirkan Al-Qur’an dengan dominasi akal. Pendekatannya ada tiga yakni  tafsir Mateforis, tafsir Hermenetika dan tafsir dengan pendekatan Sosial Kesejarahan.
Pembuktian Al-Qur’an sebagai Wahyu dalam Persepketif Sains :

      Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur;an yang berisi informasi tentang alam semesta yang dapat dijadikan bukti bahwa Al-Qur’an adalah wahyu Allah, bukan karya manusia, beberapa di antaranya adalah :
•   Tentang awal kejadian langit dan bumi.  Di dalam QS. 21 : 30 Allah menegaskan : “Apakah orang-orang lafir tidak mengetahui, sesungguhnya langit dan bumi dahulunya adalah satu yang padu, maka kemudian kami lontarkan. Dan Kami jadikan semua makhluk hidup dari air, apakah mereka tidak mau beriman”.
•   Tentang pergerakan gunung dam lempengan bumi. QS  :”Dan kamu melihat gunung, kamu menyangka gunung itu diam. Tidak gunung itu bergerak sebagaimana geraknya awan”.
•   “Nabi Yusuf berkata : Ya ayahku ada sebelas planet yang bersujud kepadaku”. Allah sebagai pencipta alam ini menegaskan di dalam Al-Qur’an bahwa planet itu ada sebelas. Padahal para ahli astronomi berpendapat hanya ada sembilan planet. Siapa yang benar ? Allah sebagai penciptanya atau manusia yang hanya mencari dan menemukannya. Pasti Allah yang benar.  Baru pada tahun-tahun terakhir ini para ahli astronomi menemukan bahwa planet itu ada sebelas.
Mana mungkin Al-qur’an mampu memberi informasi tentang alam yang menjadi ilmu pengetahuan modern,  seandainya Al-Qur’an bukan karya Allah. Ayat-ayat di atas membuktikan bahwa dilihat dari perspektif sains, Al-Qur’an pasti karya Allah, firman Tuhan bukan karya nba  Muhammad SAW.

Fungsi  Al-Qur’an:

      Aturan Allah yang terdapat di dalam Al-Qur'an memiliki tiga fungsi utama, yakni  sebagai hudá (petunjuk), bayyinát (penjelasan) dan furqán (pembeda). Sebagai  hudá, artinya Al-Qur’an merupakan  aturan yang harus diikuti  tanpa tawar menawar sebagaimana papan petunjuk arah jalan yang dipasang di jalan-jalan. Kalau seseorang tidak mengetahui arah jalan tetapi sikapnya justeru mengabaikan petunjuk yang ada pada papan itu, maka sudah pasti ia akan tersesat ( QS. 13: 37). Petunjuk yang ada pada Al-Qur’an benar-benar sebagai ciptaan Allah  bukan  cerita yang dibuat-buat (QS. 12:111). Semua ayatnya harus menjadi rujukan termasuk dalam mengelola bumi.

      Dengan menggunakan kedua macam hukum secara beriringan  yakni hukum alam  dan hukum Al-Qur’an, ditujukan antara lain untuk  menampakkan kejayaan Islam dan mengalahkan segenap tata aturan ciptaan manusia (liyudlhirah ‘aláddini  kullih) sebagaimana ditunjukkan oleh kemenangan negeri Madinah atas negeri Mekah yang Jahiliyah (futuh Mekah). Supaya tujuan itu bisa dicapai maka hukum Allah (Al-Qur’an) harus benar-benar dijadikan undang-undang oleh para khalifah fil ardl dalam mengelola bumi.

      Sedangkan Al-Qur’an sebagai bayyinát berfungsi memberikan penjelasan tentang  apa-apa  yang dipertanyakan oleh manusia. Dalam fungsinya sebagai  bayyinát, Al-Qur'an  harus dijadikan rujukan semua peraturan yang dibuat oleh manusia, jadi manusia tidak boleh membuat aturan sendiri sebab sistem aturan produk akal manusia sering hanya bersifat  trial and error.

      Fungsi ketiga Al-Qur’an adalah sebagai furqán atau  pembeda antara yang haq  dan yang báthill,  antara muslim dan luar muslim, antara nilai yang diyakini benar oleh mukmin dan nilai yang dipegang oleh orang-orang kufurr. 

      Untuk bisa memahami dan menggali fungsi-fungsi Al-Qur’an, baik sebagai hudá, bayyinát maupun furqán  secara mendalam,  maka Al-Qur’an perlu dipelajari bagian demi bagian secara cermat dan tidak tergesa-gesa (QS. 75 : 16-17, QS. 17 : 105-106), memahami munásabah atau hubungan ayat yang satu dengan yang lain, surat yang satu dengan surat yang lain.

      Selanjutnya fungsi lain Al-Qur’an sebagai Syifa (obat, resep). Ibarat resep dokter, pasien sering sulit membaca resep dokter apalagi memahaminya, akan  tetapi walaupun begitu,  pasien tetap percaya bahwa resep itu benar mustahil salah karena dokter diyakini tidak mungkin bohong. Inilah kebenaran otoritas.  Demikian pula dengan Al-Qur’an, ia a adalah resep dari Allah yang sudah pasti benar mustahil salah karena Allah adalah Maha Benar. Dengan demikian walaupun ada beberapa ayat Al-Qur;an yang untuk sementara waktu belum dapat difahami oleh ratio, tak apa tetapi tetap harus dilaksanakan, sebab  kalau menunggu dapat memahaminya secara penuh bisa  keburu mati. 

      Juga obat dari dokter kadang rasanya manis kadang pahit, tetapi dokter berpesan agar obat tersebut dimakan sesuai aturan dan sampai habis, sebab kalau tidak tepat aturan dan tidak sampai habis, penyakitnya tidak akan sembuh. Demikian pula dengan Al-Quran sebagai obat, tidak selalu harus sejalan dengan perasaan (feeling) kemauan (willing) dan ratio (thinking). Allah menghendaki agar seorang mukmin mengamalkan seluruh ayat Al-Qur’an tanpa terkecuali. Pemilahan dan pemilihan ayat-ayat tertentu untuk diamalkan sedangkan ayat yang lainnya dibiarkan adalah sikap kufur (Nu’minu biba;dlin wa nakfuru biba’dlin).


(Komunitas DUDUNG.NET)

Al-qur'an Sebagai Sumber Hukum Islam yang Pertama dan Utama

Kritik Terhadap Upaya Rasionalisasi dalam Menafsirkan Al-Qur’an :


Sebenarnya upaya rasionalisasi tafsir Al-Qur’an bukanlah hal baru, misalnya penafsiran Muhammad Abduh tentang surat al-Fil yang berbeda dengan tafsiran terdahulu. Menurut tafsir Ibn Abbas dan lain-lain, burung Abábil itu melempar pasukan gajah dengan batu dari neraka (sijjil), Setiap burung membawa tiga butir batu, dua butir di kedua kakinya dan satu butir di paruhnya. Batu tersebut adalah batu kecil dari tanah yang membara.  Tetapi Muhammad Abduh dengan tafsir metaforis rasionalnya berpendapat lain, menurutnya sijjil bukanlah batu dari neraka tetapi berupa virus. Dengan serangan virus itulah tentara Abrahah menjadi sakit parah dan akhirnya mati.
Rasionalisasi Al-Qur’an dilakukan dengan pendekatan tafsir Metaforis, misalnya tentang mukjizat nabi Musa. Nabi Musa memukulkan tongkat ke laut sehingga terbelah menjadi jalan. Menurut kelompok rasional  itu tidaklah mungkin sebab menyalahi sunnah Allah. Sunnah Allah yang bergerak di dalam hukum kausalitas merupakan ketetapan yang pasti, tidak berubah. Demikian juga ketika nabi Ibrahim dibakar tetapi tidak mati gara-gara apinya menjadi dingin, padahal sifat api sebagai sunnah Allah adalah panas. Dengan demikian tidak mungkin api yang panas menjadi dingin karena kalau begitu sunnah Allah tentang api telah berubah. Kalau sunnah Allah berubah maka hukum alam pun berubah, kalau hukum Alam berubah-ubah maka tidak dapat dibuat rumus-rumus ilmu Alam, kalau begitu ilmu Alam tidak lagi menjadi ilmu pasti.
Untuk mengomentari ini, ada baiknya dikedepankan dulu pandangan Din Syamsudin. Menurut Din, dalam mengkonseptualisasikan Islam, umat Islam menghadapi dua problema intelektual. Pertama, ketika Islam diyakini sebagai agama yang berlandaskan wahyu, umat Islam dihadapkan kepada problema yang menyangkut hubungan akal dengan wahyu. Kedua, ketika Islam diyakini sebagai kehidupan, umat Islam dihadapkan kepada persoalan hubungan antara agama dan persoalan kehidupan (sekuler).
Upaya rasionalisasi ayat Al-Qur’an dalam batas-batas tertentu sah-sah saja karena Islam memang rasional sehingga Islam itu diperuntukkan bagi orang-orang yang berakal (Ad-Din al-Aql). Namun batasan rasional atau tidaknya, logis atau tidaknya sesuatu kejadian sangat tergantung kepada kemajuan berfikir dan kebudayaan termasuk perkembangan sains teknologi yang berkembang saat itu.
Dalam hal ini Richard Thamas (1993) dalam bukunya berjudul “:The Passion of Western Mind” menulis sebuah judul “The Crisiss of Modern Science” menyatakan bahwa ilmu Barat yang spektakuler itu ternyata menghadapi krisis antara lain setelah sekian ratus tahun meyakini “certainty principle”, salah satu basic sains tentang kepastian hubungan sebab – akibat atau “if X, then Y” tetapi pada perkembangan berikutnya ternyata ada juga “Uncertainty principle”. Kausality ternyata terlalu simplistik. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa dihayati bagaimana hubungan kausality di antara mereka.  Bahkan menurut Thomas Kuhn, dalam sains terdapat akumulasi data yang bertentangan yang akhirnya menimbulkan krisis paradigma dan setelah itu timbullah suatu sintesis yang imajinatif, yang akhirnya memperoleh rekognisi ilmiah, sedangkan yang terjadi ke arah itu bersifat non-rasional. Karena itu ilmu pengetahuan yang sekarang dianggap sebagai sesuatu yang relatif. S
Sebenarnya alam sebagai fakta dengan segala hukumnya adalah absolut, tetapi ilmu pengetahuan alam yang ditemukan manusia bersifat relatif. Sebagai contoh, bahwa Al-Qur;an menjelaskan bahwa planet itu ada sebelas (ihda ‘asyrata kaukaban), tetapi para ahli astronomi menyebutkan hanya sembilan. Demikian puluhan tahun pendapat itu mendominasi. Kemudian ditemukan lagi satu planet sehingga berjumlah 10, kini terakhir ditemukan satu planet lagi sehingga menjadi sebelas.  Jadi jumlah planet sebagai fakta adalah absolut namun pengetahuan manusia tentang planet bersifat relatif.
Di samping itu perlu difahami bahwa ada perbedaan antara pengetahuan (knowledge) dan ilmu (science). Dalam kesimpulan penulis, pengetahuan itu bisa benar bisa salah. Pengetahuan yang benar disebut al-‘ilmu atau haq, sedangkan pengetahuan yang salah disebut persepsi atau opini. Pendek kata, pada hakikatnya, kebenaran (al-haq, al-‘ilmu) adalah mutlak, absolut, sedangkan yang berbeda-beda adalah persepsi orang tentang kebenaran.
Manusia dengan rasionya berusaha mencari kebenaran (ilmu). Caranya, setiap data yang masuk ke otak akan diolah dengan paradigma berfikirnya sehingga menjadi sebuah pengetahuan (kesimpulan), tetapi apakah kesimpulan itu sebagai ilmu atau hanya persepsi belumlah pasti. Karena itu wajar kalau kesimpulan seseorang tentang sesuatu suka berubah-ubah. Teori yang hari ini dianggap benar tetapi beberapa tahun kemudian direvisi bahkan dibuang. Dalam proses menemukan kebenaran itu, manusia sering harus menempuh kesalahan-kesalahan yang banyak tiada terhingga, atau bersifat trial and error.
Untunglah turun wahyu. Fungsi wahyu adalah untuk membantu manusia agar jangan terlalu lama atau jangan terlalu sulit menemukan kebenaran, terutama dalam persoalan-persolan metafisika atau tentang hakikat sesuatu. Dan sangat mungkin kalau hanya mengandalkan kekuatan nalar semata, terlalu banyak hal yang tak dapat ditemukannya padahal ilmu sangat penting dimiliki untuk bekal di dunia ini, misalnya apa arti hidup, apa itu mati, bagaimana setelah mati, apa itu syetan dan bagaimana sikap manusia terhadap syetan. Wahyu memberikan informasi seputar masalah-masalah di atas yang tidak mungkin dapat ditemukan melalui penelitian empirik.
Dalam pandangan penulis, manusia dengan rasio yang berfikir berlandaskan kausality, tidak dinilai serba mampu untuk mencapai segenap ilmu, karena rasio memiliki daya deteksi yang terbatas. Oleh karena itu, apabila rasio dijadikan sebagai ukuran segenap kebenaran agaknya terlalu riskan.
Dengan hubungan kausality sebagaimana dijelaskan di atas, di Barat hanya dikenal dua katagori ilmu, yakni Empirical Science (ilmu Empirik) dan Rational Science (ilmu rasional) Empirical science adalah manakala kebenarannya yang bersumber kepada indera terutama mata, dengan kata lain dapat dilihat, diobservasi atau dibuktikan melalui eksperimen, misalnya ilmu kedokteran, Fisika, Kimia, Biologi, dll. Jika dalam uji coba tersebut tidak terbukti berarti teori itu salah.
 Sedangkan Rational science ialah kebenaran yang bersumber kepada rasio (akal). Benar tidaknya sesuatu diukur oleh signifikansi hubungan antara sebab dan akibat. Apabila terjadi hubungan sebab dan akibat yang jelas, maka itu dikatakan logis, rasional dan dianggap benar. Tetapi jika hubungan antara sebab dan akibat itu tidak nampak jelas maka dinilai tidak rasional dan salah.
Di luar Empirical science dan Rational science adalah belief (kepercayaan) semata-mata dan bukan ilmu. Jadi berita tentang bangkit dari kubur, jin, malaikat, termasuk cerita tentang mukjizat, karena persoalan tersebut tak dapat dibuktikan dengan indera maupun dengan rasio, maka dinyatakan bukan ilmu melainkan sekadar kepercayaan.
Apakah paradigma demikian bisa digunakan dalam memahami Islam?. Ini nampaknya agak sulit. Kalau kita menganalisis dengan teliti ilmu-ilmu atau aturan yang terdapat dalam Al-Qur’an, akan banyak ditemukan ilmu-ilmu yang mungkin dinilai tidak rasional karena antara sebab dan akibat hukum, sering tidak terdeteksi. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang agak sulit difahami, agak sulit mencari hubungan sebab – akibat. Sebagai contoh Allah mengharamkan babi. Pertanyaannya adalah mengapa babi itu diharamkan, apa sebabnya. Ini sangat sulit dijawab. Paling-paling jawabannya adalah karena memang Allah telah menetapkan demikian, titik.
Keharaman babi berbeda dengan keharaman arak (khamr). Haramnya arak mudah difahami oleh akal karena arak dapat mengakibatkan mabuk dan merusak otak. Penetapan hukum haram atas arak sangat logis – rasional. Demikian juga sebab-sebab haramnya zina, berjudi, membunuh – walaupun Al-Qur’an tidak menjelaskan sebab akibatnya – tetapi akal/ rasio sudah bisa memahaminya.  Lain lagi perihal air liur anjing. Hadits ini menyatakan :
عن أبى هريرة رضي الله عنه  قال : قال رسول الله  صلّى الله عليه و سلّم   :طهور إناء أحدكم  إذا ولغ  فيه  الكلب  إن يغسله سبع مرات اولا هن بالتراب
Dari Abâ Hurairah r.a ia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, bersih-kanlah bejana salah seorang di antaramu, apabila dijilat anjing dengan membersihkan sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan tanah (HR. Muslim). 

Hadits serupa berasal dari ‘Ali ibn Hujr al-Sa‘dy, dari ‘Ali ibn Mushâr, dari A‘masy, dari Abâ Razain dan Abâ Shálih dari Abâ Hurairah. Juga dari Mu\ammad ibn Rafi’, dari Abd Razaq, dari Ma‘mar, dari Hamam ibn Munabbah, dari Abâ Hurairah.
Menurut hadits di atas, kalau bejana dijilat anjing maka wajib dibasuh tujuh kali, satu kali menggunakan tanah. Pertanyaannya adalah mengapa harus dengan tanah bukan dengan sabun. Apakah hal itu karena di zaman nabi belum mengenal sabun? Tentu tidak sesederhana itu jawabannya. Namun untuk dapat memahami mengapa harus dicuci dengan tanah memang sangat sulit.
Hal ini besar kemungkinan berkaitan dengan unsur-unsur karbon yang sangat beragam dalam tanah. Multi karbon sangat efektif dalam menghilangkan racun termasuk virus rabies, sedangkan sabun hanya mengandung beberapa karbon saja yang mustahil dapat membunuh virus rabies.
Muncul lagi pertanyaan, mengapa kalau anjing menjilat bejana, bejana itu harus dibasuh tujuh kali di antaranya satu kali dengan memakai tanah. Tetapi ketika berburu kelinci menggunakan anjing terlatih (mu‘allam), terus anjing ini menggigit kelinci, tidak ada satu hadits pun yang mengharuskan mencuci leher kelinci bekas gigitan anjing itu dengan tanah. Mengapa demikian?” Selintas pertanyaan ini menyudutkan dan sulit dijawab. Akan tetapi apabila ditanyakan kepada ahlinya, rahasianya dapat agak terbuka.
Dapat kita bandingkan dengan bisa ular. Apabila manusia digigit oleh ular kobra, maka dalam beberapa menit saja manusia bisa mati, padahal hanya sedikit saja bisa ular yang masuk melalui pagutan itu. Lain halnya dengan bisa yang sengaja diperas dari mulut kobra itu. Apabila bisa ular itu diperas dari mulutnya kemudian ditampung pada gelas lantas diminum, ternyata tidak berbahaya bahkan justeru menjadi obat.  Kasus ini kurang lebih sama dengan air liur anjing tadi. Air liur yang keluar ketika anjing menjilat dan ketika tetap dalam mulutnya, terdapat perbedaan besar.
Contoh lain ialah tentang puasa. Orang yang sering menahan lapar bisa terkena penyakit maag, tetapi tidak demikian dengan menahan lapar karena puasa. Kalau perut sangat lapar dapat mengakibatkan tubuh berkeringat dingin, tetapi tidak demikian kalau lapar karena puasa. Kalau perut sedang lapar akan sulit tidur, tetapi kalau perut lapar karena puasa justeru nikmat tidur. Mengapa demikian?
Contoh lainnya masih tentang puasa adalah bahwa ketika Nabi berbuka puasa, Nabi ta‘jil (mempercepat buka puasa) hanya memakan tiga biji kurma bukan dengan makan yang banyak. Mengapa demikian? Menurut ilmu kedokteran, ketika berpuasa, lambung (maag) itu kosong. Dengan berbuka menggunakan kurma (manis) akan mempercepat pembakaran dan segera dapat mengganti glukosa (gula darah) yang berkurang selama puasa. Mengapa hanya tiga kurma? Dengan kurma yang sedikit yang masuk ke dalam lambung, maka darah akan mengalir ke lambung sebagai energi sehingga lambung bisa bekerja dengan baik. Setelah lambung memiliki energi yang cukup kuat barulah diisi dengan makanan yang banyak, sehingga lambung bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Berbeda jika lambung itu langsung diisi dengan makanan yang banyak tanpa “pemanasan”, maka lambung memerlukan banyak darah sehingga darah dari otak akan turun ke lambung, akibatnya otak kekurangan darah, ini berarti otak kekurangan oksigen sehingga jadi mengantuk.
Dengan mengetengahkan contoh-contoh di atas, penulis bermaksud meminta perhatian bahwa apa-apa yang dilakukan nabi yang menyangkut diniyah walaupun untuk sementara waktu dinilai kurang rasional namun jangan tergesa-gesa menolaknya. Sebab ukuran rasional dan tidaknya sesuatu sangat tergantung kepada ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Dengan demikian, tidak boleh hanya karena akal manusia belum bisa menemukan hubungan sebab akibatnya, lantas dengan serta merta ajaran Islam (ayat Al-Qur’an) yang dianggap tidak rasional (untuk sementara waktu) itu ditafsirkan sesuai dengan selera penafsir.
Kejadian yang lebih sulit lagi manakala kita ingin mengetahui logis tidaknya mukjizat. Misalnya Nabi Ibrahim a.s dibakar tidak merasa panas,  Tongkat Nabi Musa a.s menjadi ular, serta Nabi Muhammad SAW ber-Isra Mi’raj. Apabila kejadian ini diukur dengan ilmu dalam batasan rasional, maka pasti akan dianggap irrasional dan kemudian ditolak. Tidak heran kalau kelompok pemikir Rasional menyatakan mukjizat seperti itu hanyalah mitos doktrinal, tidak ubah dongeng Lampu Aladin (fiktif).  Dan karena anggapannya itu,  mereka  lebih suka melakukan reinterpretasi dengan pendekatan rasional metaforis.
Seandainya semua hal harus rasional, lantas bagaimana dengan Isa (Yesus) yang lahir dari rahim Maryam yang masih perawan, tanpa suami dan tanpa berbuat zina. Apakah ada tafsiran yang lain?
Kejadian yang aneh di luar kebiasaan yang sulit difahami seperti mukjizat bukanlah ilmu Empirik karena tidak dapat diulang-ulang melalui kegiatan eksperimen, Bukan pula Ilmu Rasional karena interrelasi sebab – akibatnya sulit ditemukan, tetapi termasuk dalam katagori ilmu Suprarasional atau kejadian Supranatural. Kebenarannya hanya dicapai dengan hati (qalbu) yang percaya, atau bisa disebut haqq al-yaqân.
Apalagi kalau menyangkut persoalan siksa kubur, alam Mahsyar, syurga dan neraka yang sama sekali tidak bisa dijangkau akal, bahkan tak dapat dibayangkan. Kebenaran ilmu tersebut hanya dibuktikan dengan ruh yakni setelah manusia mati. Ilmu yang demikian disebut dengan Metarasional. Dalam paradigma Al-Qur’an disebut Ilmu Gaib.
Berdasarkan kajian-kajian yang penulis lakukan, penulis berkesimpulan bahwa sebenarnya ilmu itu ada empat macam bukan dua sebagaimana dalam pemikiran di Barat. Keempat macam ilmu itu adalah ilmu Empirik (‘Ain al-yaqin), Ilmu Rasional (‘Ilmu al-yaqin), Suprarasional (Haqq al-yaqin) dan Metarasional (‘ilmu al-Ghaib). Dalam terminologi lain, Ilmu Empirik dan ilmu Rasional dikatagorikan Ilmu Bayány. Ilmu Suprarasional merupakan ilmu Burhány, sedangkan Metarasional disebut ilmu ‘Irfány.
Di luar yang empat itu ada yang disebut irrasional, yakni manakala kejadian tersebut sangat mustahil menurut akal, misalnya dikatakan bahwa benda itu diam dan pada saat yang sama benda itu bergerak. Ini irrasional. Termasuk ke dalam irrasional adalah tahayyul. Irrasional bukanlah ilmu tetapi tahayyul (hayalan) atau kepercayaan tak berdasar.
Di dalam ajaran Islam, banyak sekali perintah dan larangan nabi yang seakan tidak masuk akal sehingga beberapa ulama melakukan rasionalisasi melalui penafsiran metaforis.
Lantas apakah sesuatu yang tidak dimengerti harus ditaati juga? Sebenarnya manusia banyak melakukan perbuatan bukan karena mengerti tetapi karena percaya. Sebagai contoh, seorang professor doktor di bidang agama akan tetap menggunakan resep dari dokter walaupun tulisan pada resep itu tidak dapat dibaca dengan matanya dan tidak dapat difahami dengan otaknya. Ia menaati resep dokter bukan karena mengerti tetapi karena percaya. Begitupun dengan Al-Qur’an yang berfungsi sebagai resep, obat (syifá), maka kalau sementara ini akal belum mampu menerima apa yang dikandung oleh Al-Qur’an, sebaiknya diterima saja dahulu, nanti di saat kemudian, apa-apa yang dianggap tidak rasional sangat mungkin menjadi rasional juga. Jadi pada dasarnya baik suprarasional maupun metarasional seluruhnya masih dalam koridor rasional.
Apakah tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX termasuk kepada tafsir bi ar-Ra’yi yang diancam neraka?. 
Untuk mengetahuinya sangat perlu terlebih dahulu memahami kriteria  tafsir bi ar-Ra’yi  yang diperbolehkan.
Menurut Muhammad ibn Sulaiman al-Kafiji di dalam buku : “At-Tafsâr fâ Qawá‘id ‘ilmi at-Tafsâr”, dijelaskan bahwa para sahabat biasa menafsirkan Al-Qur’an dengan ra’yu, hal ini dilakukan apabila mereka tidak menemukan tafsirnya dalam hadis mutawátir, juga tidak terdapat dalam Ijma‘ ulama”.    Adapun  tafsâr bi ar-Ra’yi yang dilarang adalah min gair ‘ilm (tanpa imu)  tetapi sekadar mengikuti selera. Tafsir ra’yu tidak boleh kalau  meninggalkan pemahaman yang sudah biasa difahami dari  lafaÑ-lafaÑ Al-Qur’an    .
Apabila mencermati tafsir Al-Qur’an yang dilakukan oleh NII KW IX, maka segera dapat diketahui bahwa penafsiran mereka tanpa mengikuti kaidah-kaidah baku penafsiran yang telah disepakati oleh para ulama, terutama ulama Salaf. Berdasarkan kriteria tafsir bi ar-ra’yi  di atas, maka tafsâr bi ar-ra’yi NII KW IX secara akademis tidak dapat diterima.

(Komunitas DUDUNG.NET)

Senin, 19 Maret 2012

contoh kata pengantar


Kata Pengantar

       Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah yang berjudul “PENGERTIAN PENDIDIKAN dan ILMU PENDIDIKAN” ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya.

      Makalah ini berisikan tentang informasi mangenai pengertian dan ilmu tentang pendidikan atau yang lebih khususnya membahas secara spesifik mangenai pengertian dan ilmu pendidikan. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua mengenai ilmu pendidikan dan hal-hal yang dilingkupinya.

      Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

      Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita. Amin.




                                                                                                                                      Penyusun,

Sabtu, 17 Maret 2012

Hukum Islam

A. Pengertian Hukum Islam
Hukum adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarkat maupun peraturana atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya bisa berupa hukum yang tidak tertulis, seperti hukum adat, bisa juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundangan-undangan. Hukum sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan harta benda. Sedangkan hukum Islam adalah hokum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi hukum islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Sebagai sistem hukum, hukum Islam berbeda dengan sistem hukum lain, yang pada umumnya terbentuk dan berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran manusia serta budaya manusia pada suatu tempat dan masa. Hokum Islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi kebudayan manusia di suatu tempat dan masa, tapi pada dasarnya ditetapkan Allah melalui wahyu-wahyuNya, yang terdapat dalam Al-Quran dan dijelaskan oleh nabi Muhammad sawsebagai rasulNya melalui sunah-sunah beliau yang kini pun tehimpun dalam kitab-kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan hokum Islam secara fundamental dengan hukum-hukum lain yang semata-mata lahir dari kebiasaan dan hasil pemikiran atau buatan manusia.
Hokum islam diperkenalkandengan berbagai istilah yang saat ini telah popular di lingkungan umat Islam. Ada istilah syariat, hokum syara, maupun fiqih. Bagi setiap umat Islam selayaknya memahami ketiga istilah tersebut, agar memiliki wawasan yang cukup mengenai wilayah dan cukupan-cakupan ilmu agama islam.
Syariat adalah segala sesuatu yang ditetapkan oleh Allah swt. Bagi hamba-hambaNya yang dibawa oleh para Nabi Allah termasukNabi Muhammad saw. Baik yang berkaitan dengan teknik suatu aml perbuatan (yang kemudian tersusun dalam ilmu fiqih), maupun persoalan-persoalan kepercayaan dan keimanan (yang kemudian tersusun dalam ilmu kalam). Istilah syariat ini sering pula disebut dengan istilah ad-diin dan al-millah (agama). Adapula yang mendefinisikan syariat dengan pengertian segala sesuatu yang Allah SWT bagi hambaNya yaitu agama, atau segala sesuatu yang telah ditunjukkan jalanNYa oleh Allah, berupa agama dan segala perintah-perintahNya seperti puasa, shalat, haji, zakat, dan segenap amal kebaikan. Dari uraian di atas tampak bahwa istilah syariah mencakupi yang di ajarkan dan ditetapkan oleh Allah melalui nabiNya, baik yang berkaitan dengan masalah teologi (keyakinan), masalah ritual (peribadatan), masalah social (kemasyarakatan), maupun moral (etika).
Hukum syara’ adalah firman Allah yang mengikat (mengatur) tindakan-tindakan orang mukallaf (orang Islam yang telah layak menerima hak dan kewajiban hukum) baik yang berupa tuntutan, pilihan, maupun penetapan. Hokum syara dibagi menjadi 2 bagian:
1. Al-hukmu at-taklifiy (hokum yang bersifat pembebanan ),menurut mayoritas ulama ada 5 tingkatan:
· Ijab/ wajib (kewajiban), yaiti suatu perbuatan jika dilakukan mendapat imbalan phala dan kalau ditinggalkan akan mendapat siksa dan dosa.
· Sunnah/ mandub (anjuran), yaitu suatu perbuatan jika dilakukan mendapat imbalan tetapi jika ditinggalkan tidak memiliki resiko berdosa.
· Ibahah/ mubah (kebolehan), yaitu suatu pernuatan jika dikerjakan mauoun ditinggalkan tidak mengandung konsekuensi pahala ataupun dosa.
· Karahah/ makruh (kebencian/ keterpaksaan), yaitu perbuatan jika ditinggalkan akan mendapatkan imbalan pahala dan jika dikerjakan tidak beresiko siksa dan dosa.
· Tahrim/ haram (larangan) yaitu suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat siksa dan dosa, dan jika ditinggalkan akan dapat imbalan paahala.
2. Al-hukmu al-wadl’iy (hukum yang bersifat penetapan-penetapan khusus), terdiri dari ketetapan-ketetapan yang menentukan kberlakuan hokum taklifiy, yaitu:
· As-sabab (sebab), yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh Allah sebagai factor datangnya ketentuan hokum taklifiy, seprti condongnya matahari ke arah barat menjadi factor datangnya sholat dhuhur; seperti hadinya suatu penyakit atau kegiaatan bepergian (musafir) menjadi dihapuskannya skewajiban puasa ramadhan pada hari itu. Jadi, ada hubungan sebab akibat antara datangnya suatu factor dengan datangnya hokum.
· As-syarath (syarat) yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh Allah untuk menjadi factor bagi keabsahan suatu hokum walaupun tidak memiliki hubungan mutlak sebaab akibat, seperti akaad nikah yang sah merupakan syarat ditetaapkannya talak/ perceraian karena tidak ada perceraian jika sepasang manusia tidak pernah maenikah secara sah, dan seoarang yang menikah secara sah, dan seorang yang menikah secara sah dan tidak selalu berakhir dengan perceraian.
· Al- mani’ (penghalang), ayitu segala seduatu yangt ditetapkan oleh Allah menjadi penghalang pelaksanaan suatu hukum. Maka jika sesuatu itu ada, secara otomatis hukum itu tidak berlaku, seperti batalnya hak mewarisi bagi seorang pembunuh bagi yang dibunuhnya. Dalam hukum waris, seorang anak memperoleh bagian harta waris dari orang tuanya dalam keadaan apapun juga. Namun hal ini bisa di anulir jika terbukti ternyata anak tersebut ternyata menjadi pembunuh bagi orang tuanya. Maka dalam hal ini “membunuh”adalah mani’/ penghalanh untuk menerima waris.
· ‘Azimah (ketetapan reguler), yaitu ketetapan Allah yang disampaikan kepada umatnya secara umum dengan tidaka disertai dengan relevansi-relevansi khusus baiak dalam keadaan tertentu maupun terhadap kelompok tertentu. Seperti shalat 5 waktu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan waktu dan jumlah rekaatnya.
· Rukhshah (dipensasi), yaitu ketetapan Allah untuk memberikan dipensasi bagi umatnya dalam keadaan khusus yang menghajatkan seperti itu. Seperti shalat dhuhur yang dapat digabung dengan shalat ashar dengan masing- masing dua rekaat saja (disebut dengan jama’ dan qashar); orang yang sakit memperoleh dispensasi puasa ramadhan untuk dikerjakan di bulan lainnya saja.
· As-Shihhah (valid/ absah) yaitu ketetapan Allah bagi amalan-amalan yang telah memenuhi standar kriteria syarat dan rukunnya. Seperti shalat yang dilakukan sebagaimana syarat dan ketentuan secara lengkap maka shalat itu ditetapkan sabagai shalat yang sah
· Al- buthlan (batal) yaitu ketetapan Allah bagi amalan-amalan yang telah memenuhi ketetentuan syarat dan rukun padahal tidak memiliki dispensasi apapun.
Istilah fiqh didefinisikan denngan pengetahuan tentang hukum-hukum syara yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci, yang dihasilakan dari rasio dan ijtihad melalui proses pemikiran dan perenungan.
Banyak definisi tentang fiqh, ada yang menyebutkan bahwa fiqh dengan ilmu pengetahuan tentang hukum syara’ yang praktis digali dari sumber-sumbernya yang terperinci
Oleh karena itu, fikih bersifat instrumental, dari ruang lingkupnya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang disebut dengan perbuatan hukum. Kare3na fikih adalah hasil karya manusia, maka ia tidak berlaku abadi dan dapat berunbah dari masa ke masa, dan dapat berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini terlihat dari aliran- aliran hkum yang disebut dengan istilah mazahib atau mahzab-mahzab. Oleh karena itu, dalam fikih menunjukan keragamandalam hukum islam.
Fikih dalam bahasa indonesia berisi perincian-perincian sdari syariah karena itu ia dapat dikatakan sebagai elaborasi terhadap syariah. Elaboarsiyang dimaksud adalah suatu kegiatan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran atau ar-ra’yu.
Yang dimaksud ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan memprgunakan segenapa kemampuan yang ada, dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk mendapat garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al-quran dan sunah Rasulullah. Jika mempelajari kitab-kitab fikih, mak seseorang akan menemukan pemiikiran para fukaha antara lain pendiri empat mazhab yang dikenal sampai sekarang masih berpengaruh dikalanngan umat islam sedunia, yaitu: Abu Hanifah (pendiri mazhab hanafi), Malik bin Annas (pendiri mazhab Maliki), Muhammad bin Idris asy Syafi’I (pendiri mazhab Syafi’i), dzan Ahmad bin Hambal (pendiri mazhab Hambali). Para yuris islam tersebut sangat berjasa bagi perkembangan hokum islam melalui pemikiran-pe ikiran mereka yang mengagumnkan.
Menurut Tahir Azhary, ada tiga sifat hukum Islam, Dengan sifat ini, hukum islam mempunyai validitas baik bagi perorangan maupun masyarakat. Sifat-sifat itu adalah:
· Bidimensional yang artinya menhgandung sehi kemanusiaan dan segi ketuhanan (illahi) sehingga luas atau komprehensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan tetapi juga mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Sifat inilah yang merupakan sifat dasar hukum islam dan merupakan fitrah (sifat asli) hukum islam.
· Adil, sifat ini merupakan tujuan penetapan hukum islam, dan telah melekat sejak kaidah-kaidah dalam syariah ditetapkan. Keadilan merupakan sesuatu yang di dambakan oleh setiapm manusia baik sebagai individu, maupun masyarakat.
· Individualistik, dan kemasyarakatan yang diikat oleh nilai-nilai transdental yaituwahyu Allah yang di sampaikan kepada nabi Muhammad saw.  
 B. Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum islam baik dalam pengertian syaariatr maupun fikih di bagi menjadi dua baagian besar, yaitu: Ibadah (mahdhah) dan muamalah (ghairu mahdhah).
1) Ibadah (mahdhah) adalah tata cara dan upacara yang wajib dilakukan oleh seoraang muslim dalam menjalankan hubingan kepada Allah, seperti shalat, membayar zakat, menjalankan ibadah haji. Tata caara dan upacara ini tetap, tidak ditambah-tambah maupun dikurangi. Ketentuannya telah di atur dengan pasti oleh Allah dan dijelaskan oleh RasulNya. Dengan demikian tidak mungkin ada proses yang membawa perubahan dan perombakan secaara asasi mengenai hukum, susunan, cara dan tata cara beribadat. Yang mungkin berubah hanyalah penggunaan aalat-alat modern dalam pelaksanaannya.
2) Muamalah (ghairu mahdhah) dal.a pengertian yang luas adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut terbatas pada pokok-pokok saja. Karena itu sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat melakukan usaha itu.
Bagian- bagian hukum islam adalah:
a) Munakahat (hukum yang mengatur sesuatau yang berhubunngan dengan perkawinan, perceraian dan akibat-akibatnya.)
b) Wirasah (hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta warisan daan cara pembagian waarisan)
c) Muamalat (hukum yang mengatur masalah kebendaan daan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam persoalan jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dan lain-lain)
d) Jinayat (hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud atau tindak pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas hukumnya dalam al quran daan sunah nabi maupun dalam jarimah ta’zir atau perbuatan yang bentuk dan batas hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bbagi pelakunya)
e) Al-ahkam as-sulthaniyah (hukum yang mengatur soal-soal yang berhubungan dengan kepala negara, pemerintahan pusat maupun daerah, tentara, pajak daan sebagainya)
f) Siyar (hukum yang mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain)
g) Mukhassamat (hukumyang mengatur tentang peradilan, kehakiman, dan hukum acara)
Sistematika hukum islam daapat dikemukakan sebagai berikut:
v Al-ahkam asy-syakhsiyah (hukum peronrangan
v Al-ahkam al-maadaniyah (hukum kebendaan)
v Al-ahkam al-murafaat (hukum acara perdata, pidana, dan peradilan tata usaha)
v Al ahkam al-dusturiyah (hukum tata negara)
v Al-ahkam ad-dauliyah (hukum internasional)
v Al-ahkam al-iqtishadiyah wa-almaliyah (hukum ekonomi dan
keuangan)
C. Tujuan Hukum Islam
Tujuan hukum islam adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan kemashlahaatan bagi mereka; mengarahkan mereka kepada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di duniaa dan di akhirat dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan mencegah atau menolak yang madharat, yakni yang tidak berguna bagi hidup maaupun kehidupan manusia.
Ada lima tujuan hukum islam, yaiitu:
Ø Agama
Ø Jiwa
Ø Akal
Ø Harta, yang disebut “maqasid al-khamsah”
a) Memelihara agama
Beragama merupakan kebutuhan manusia yang dapat mnyenntuh nurani manusia. Agama akidah, syariah dan akhlak ataun mencampuradukkan ajaran agama islam dengan pham atau aliran bathil. Agama islam memberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Agam islam tidak m,emaksakan pemeluk agama lain memeluk agama islam.
b) Memelihara jiwa
Menurut hukum islam jiwa harus dilindung. Uuntuk itu hukum islam wajjib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan hidupnya. Hhukum islam mekarang pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan manusia untuk mempertahankan kemashlahatan hidupnya.
c) Memelihara akal
Menurut hukum islam seseeorang wajib memelihara akalnya kerana akal mempunya peranan yang sangat penting dalam hidup dan kehidupan manusia. Dengan akalnya, maanusia dapat memahami waahyu Allah baik yang terdapat daalam kitab suci ataupun ayat-ayat Allah yang terdapat di alam. Dengamn akalnya, manusia dapat mengembangkan ilmmu pengetahuan daan teknologi.seseorang tidak akan mampu menjalankan hukum islam dengan baik daan benar tanpa menggunakan akal yang sehat. Oleh karena itu pemeliharaan akal merupakan salah satu tujuan hukum islam. Untuk itu, hukum islam melarang oraang meminum minuman yang memabukkan dan memberikan hukuman pada perbuatan yang merusak akal.
d) Memelihara keturunan
Dalam hukum islam, memelihara ketuurunan adaalah hal yang sangat penting. Untuk itu dalam hukumislam untuk meneruskan keturunan harus melalui perkawinan yang sah menurut ketentuan-ketentuan yang aada dalam al quran dan as sunah dan dilarang melakukan perbuatan zina.
e) Memelihhara harta
Menurut hukum islam, harta merupakan pemberiaan Allah kepada manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya. Untuk itu, manusia sebaga khalifah Allah di muka bumi (makhluk yang diberi amanah Allah untuk mmengelola alam ini sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya) dilindungi haaknya untuk memperooleh harta dengan cara-cara yang halal artinnnya menurut hukumdaan benar menurut ukuran moral.
D. Sumber Hukum Islam
Di dalam hukum islam rujukan-rujukan dan dalil telah ditentukan sedemikian rupaoleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun yang bersifaat alternatif. Sumber tertib hukum Islaam ini secara umumnya dapat dipahami dalam firaaman Allah dalam QS. An-nisa: 59, “wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilalh RasulNyadaan ulil amri di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia pada Allah (al quran) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar bberiman kapada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik (akibatnya).
dari ayat tersebut, dap[at diperoleh pemahaman bahwa umat islam dalam menjalankan hokum agamanya harus didasarkan urutan:
1) Selalu menataati Allah dan mengindahkan seluruh ketentuan yang berlaku dalam alquran.
2) Menaati Rasulullah dengan memahami seluruh sunnah-sunnahnya
3) Menaati ulil amri (lembaga yang menguasai urusan umat islam.
4) Mengenbalikan kepada alquran dan sunah jika terjadi perbedaan dalam menetapkan hukum,
Sdecara lebih teknis umat islam dalam berhukum harus memperhatikan sumber tertib hukum:
1) Al Quran
2) Sunah atau hadits Rasul
3) Keputusan penguasa; khalifah (ekseklutif), ahlul hallli wal ‘aqdi (legislatif), amupun qadli (yudikatif) baik secara individu maupun masing- masing konsensus kolektif (ijma’)
4) Mencari ketentuan ataupun sinyalemen yang ada dalam al quran kemmbali jika terjadi kontroversi dalam memahami ketentuan hukum.
Dengan komposisi itu pula hukum islam dapat diklasifikaasikan menjadi dua jenis:
1) Dalil Naqli yaitu Al Quran dan as sunah
2) Dalil Aqli yaitu pemikiran akal manusia. 
E. Kontribusi Umat Islam Dalam Perumusan dan Penegakan Hukum Indonesia
Hukum slam ada dua sifat, yaitu:
· Al- tsabat (stabil), hukumislam sebagai wahyu akan tetap dan tidak berubah sepanjang masa
· At-tathawwur (berkembang),hukum islam tidak kaku dalam berbagai konddisi dan situasi sosial.
Dilihat dari sketsa historis, hukumislam masuk ke indonesia bersama masuknya islam ke Indonesia pada abad ke 1 hijriyah atau 7/8 masehi. Sedangkan hukum barat bary diperkenalkan VOC awal abad 17 masehi. Sebalum islam masuk indonesia, rakyat indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya dan sangat majemuk sifatnya. Namun setelah islam datang dan menjadi agama resmi di berbagai kerajaan nusantara, maka hukum islam pun munjadi hukum resmi kerajaan-kerajaan tersebut dan tersebar manjadi hukum yang berlaku dal;am masyarakat.
Secara yuridis formal, keberadaan negara kesatuan indonesia adalah diawali pada saat proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 kemudian diakui berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Pada saat itulah keinginan para pemimpin islam untuk kembali menjalankan hukum islam baggi umat islam berkobar, setelah seacra tidak langsung hukum islam dikebiri melalui teori receptie.
Dalam pembentukan hukum islam di indonesia, kesadarn berhukum islam untuk pertama kali pada zaman kemeerdekaan adalah di dalam Piagam Jakarta 22 juni 1945 , yang di dalam dasar ketuhanan diikuti dengan pernyataan “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tetapi dengan pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akhirnya mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang rumusan sila pertamanya menjadi “ketuhanan yang maha esa”.
Meskipun demikian, dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan, hukumislam telah benar-benar memperoleh tempat yang wajar secara kontitusional yuridik.
Dengan demikian kontribusi umat islam dalam petrumusan dan penegakan hukum sangat besar. Ada pun upaya yang harus dilakukan untuk penegakan hukum dalam praktek bermasyarakat dan bernegara yaitu melalui proses kultural dan dakwah. Apabila islam telah menjadikan suatu keebijakan sebagai kultur dalam masyarakat, maka sebagai konsekuensinyahukum harus ditegakkan. Bila perlu “law inforcement” dalam penegakkan hukum islam dengan hukum positif yaitu melalui perjuangan legislasi. Sehingga dalam perjaalananya suatu ketentuan yang wajib menurut islam menjadi waajib pula menurut perundangan.
F. Fungsi Hukum Islam Dalam Kehidupan Bermasyarakat
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri manusia membutuhkan pertolongan satu sama lain dan memerlukan organisasi dalam memperoleh kemajuan dan dinamika kehidupannya. Setiapa individu dan kelompok sosial memiliki kjepentingan. Namun demikan kepentingan itu tidak selalu sama satu saama lain, bahkan mungkin bertentangan. Hal itu mengandung poteensi terjanya benturaan daan konflik. Maka hal itu membutuhkan aturan main. Agar kepentingan individu dapaat dicapai secara adil, maka dibutuhjkan penegakkan aturan main tersebut. Aturan main itulah yang kemudian disebutdenngan hukum islam yang dan menjadi pedomaan setiap pemeeluknya.
Dalam hal ini hukum islam memiliki tiga orientasi, yaitu:
a. Mendidik indiividu (tahdzib al-fardi) untuk selalu menjadi sumber kebaikan,
b. Menegakkan keadilan (iqamat al-‘adl),
c. Merealisasikan kemashlahatan (al-mashlahah).
Oreintasi tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia dalam jangka pendek dalam kehidupan duniawi tetapi juga harus menjamin kebahagiaan kehidupan di akherat yang kekal abadi, baik yang berupa hukum- hukum untuk menggapai kebaikan dan kesempurnaan hidup (jalbu al manafi’), maupun pencegahan kejahatan dan kerusakan dalam kehidupan (dar’u al-mafasid). Bbegitu juga yang berkaitan dengan kepentingan hubungan antara Allah dengan makhluknya. Maupun kepentingan orientasi hukum itu sendiri.
Sedangkan fungsi hukum islam dirumuskan dalam empat fungsi, yaitu:
1) Fungsi ibaadah. Dalam adz-Dzariyat: 56, Allah berfirman: “Dan tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu’. Maka dengan daalil ini fungsi ibadah tampak palilng menonjol dibandingkan dengan fungsi lainnya.
2) Fungsi amr makruf naahi munkar (perintah kebaikan dan peencegahan kemungkaran). Maka setiap hukum islam bahkan ritual dan spiritual pun berorientasi membentuk mannusia yang yang dapat menjadi teladan kebaikan dan pencegah kemungkaran.
3) Fungsi zawajir (penjeraan). Aadanya sanksi dalam hukum islam yang bukan hanya sanksi hukuman dunia, tetapi juga dengan aancaman siksa akhirat dimaksudkaan agar manusia dapat jera dan takut melakukan kejahatan.
4) Fungsi tandzim wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi masyarakat). Ketentuan hukum sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batas ancaman dan untuk menakut-nakuti masyarakat saja, akan tetapi juga untuk rehaabilitasi dan pengorganisasian umat mrnjadi leboh baik. Dalam literatur ilmu hukum hal ini dikenal dengan istilah fungsi enginering social.
Keempat fungsi hukumtersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu tetapi saatu deengan yang lain juga saling terkait.
G. Pengertian Keadilan dan Kesejahteraan
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Jadi, keadilan itu berlaku bagi seluruh mahluk hidup maupun bagi benda-benda yang ada di alam semesta. Hal ini dikarenakan oleh adanya keterikatan yang terjadi secara alamiah, sehingga seluruh mahluk harus berlaku adil kepada yang lainnya. Sebagai salah satu jalan mempertahankan keseimbangan yang alami tersebut.
Menurut Segel dan Bruzy (1998:8), “Kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat”.

Kamis, 15 Maret 2012

peluang bisnis kerja dari rumah

Ditulis Oleh azam01 , Saturday, 11 July 2009


Sukses adalah idaman setiap orang, tetapi mengapa jauh
lebih banyak orang yang gagal tidak hanya di Bisnis
tetapi juga tempat kerja ?

Menurut pengamatan yang dilakukan Andrew Ho (seorang
motivator) sekurang – kurangnya ada 14 PENYEBAB KEGAGALAN :
1. Tidak ada tujuan / goal yang tepat
2. Tidak pernah mencatat tujuan – Visualisasi tujuan

3. Tidak ingin bertanggung jawab atas segala tindakan -
selalu “mencari alasan” atas kegagalan yang terjadi

4. Tidak ada tindakan yang efektif – hanya sebatas rencana
dan pesimis

5. Pembatasan diri – menganggap diri tidak layak sukses.
Contoh : tidak berpendidikan, terlalu tua,
tidak punya uang

6. Malas – tidak kerja keras, maunya kerja sedikit hasil
melimpah

7. Berteman dengan teman yang “salah” – lebih banyak
berinteraksi dengan orang yang gagal, teman yang gagal
tidak pernah menunjukkan jalan menuju sukses

8. Kurang dalam mengatur waktu – lebih bayak waktu yang
tidak efektif

9. Salah memakai strategi – mungkin kerja keras, tapi hasil
nol

10. Kurang pengembangan diri – jarang baca buku /
mengumpulkan informasi terbaru dan sesuai dengan bidang
yang sedang ia tekuni

11. Tidak ada kesungguhan atau komitmen untuk sukses -
mudah putus asa atau menyerah saat menghadapi rintangan
12. Kurang menggunakan kekuatan bawah sadar

13. Kurangnya hubungan antarmanusia yang baik – sedikit
orang yang membantunya

14. Bodoh, Sombong dan menganggap diri sendiri paling hebat
dan berhenti belajar.
Terimakasih,
http://kerja-bisnis.com