Rabu, 11 April 2012

SEJARAH UU PERKAWINAN dan PEMBAKUAN PERAN PEREMPUAN dalam UU NO.1 TAHUN 1974 tentang PERKAWINAN


Pengaturan Perkawinan: Tarik Ulur antara Agama dan Negara
Sepanjang sejarah Indonesia, wacana UU Perkawinan setidaknya selalu melibatkan tiga pihak / kepentingan, yakni kepentingan agama, negara dan perempuan. Dalam wacana dikotomi publik-privat, perbincangan seputar perkawinan cendrung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada dalam agama. Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak bisa mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya. Meskipun kepentingan negara ini tidak selalu sama dari pemerintahan satu ke pemerintahan yang lain.
Pada jaman kolonial, penguasa Hindia Belanda berkepentingan untuk mengukuhkan pengaruh dan kekuasaannya atas warga jajahan dengan cara mengatur mereka melalui serangkaian produk UU, termasuk di dalamnya hukum perkawinan. Melalui pengaturan inilah tata kependudukan negara jajahan di atur. Pada masa itu RUU Perkawinan dari pemerintah tidak sepenuhnya dapat mengakomodir kepentingan perempuan berkaitan dengan hubungan laki-laki perempuan yang setara dalam keluarga. Ini nampak dalam rumusan pengaturan perkawinan yang mendudukkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan sebagai konsekuensinya perempuan mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap urusan domestik rumah tangga. Perempuan bahkan bukan subjek hukum  yang dalam berurusan dengan hukum harus selalu didampingi suaminya. (Lihat BW buku kesatu bab V pasal 105-107)
Pada masa paska kemerdekaan, pemerintah menggunakan pengaturan bidang perkawinan sebagai kompromi dengan kepentingan berbagai kelompok yang menghendaki kesatuan antara hukum negara dan hukum agama dalam kehidupan umum. Di sini perempuan lebih parah nasibnya, karena dalam perkembangannya di kemudian hari banyak terjadi perceraian yang sewenang-wenang dan perkawinan perempuan di bawah umur.
Pada masa Orde Baru, pemerintah menggunakan pengaturan perkawinan sebagai salah satu sarana pendukung strategi pembangunan, meskipun harus berkompromi dengan kepentingan kelompok dominan Islam. Pada saat yang sama kelompok Islam itu juga melihat pengaturan perkawinan ini sebagai kesempatan untuk menegakkan dan memperluas penerapan ajaran agama dalam kehidupan bernegara. Ini dilakukan karena sejak jaman kolonial, kepentingan Islam untuk mempengaruhi kehidupan kenegaraan selalu dikalahkan oleh prinsip penataan negara modern. Rumusan RUU Perkawinan dari pemerintah sangat dipengaruhi model civil marriage dan menghilangkan beberapa ketentuan seperti rumusan pengaturan kepala rumah tangga, kewajiban perempuan atas urusan rumah tangga dan ijin istri dalam perceraian. Namun harapan perbaikan nasib perempuan ini kembali tenggelam karena pembakuan peran dimunculkan kemudian sebagai upaya untuk kompromistis dengan kepentingan agama.
Dimana kepentingan perempuan dalam tarik ulur tersebut?
Jelas kaum perempuan berkepentingan dengan adanya UUP. Mewujudkan UUP yang mengangkat harkat dan martabat perempuan merupakan harapan dari semua kelompok perempuan saat itu. Tambah lagi menjelang tahun-tahun lahirnya UUP, berbagai masalah di seputar perkawinan semakin menguat dan menjadi keprihatinan organisasi-organisasi perempuan, antara lain kasus poligami, kawin paksa, kawin anak-anak, perceraian dan perkawinan sewenang-wenang.
Namun, dalam pembahasan mengenai pengaturan perkawinan dalam keluarga dapat menjadi potret yang cukup jelas untuk menunjukkan tersingkirnya kepentingan perempuan ke dalam wilayah privat, wilayah yang secara sepihak dilekatkan pada perempuan.
Hasilnya UUP yang lahir telah mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Di satu sisi misalnya, pasal 31 ayat 2 menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Mereka juga sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum. Namun di dalam pasal 31 ayat 3 terdapat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur keluarga, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Selain itu mengukuhkan stereotype peran seksual perempuan sebagai pekerja domestik. Lewat UUP jugalah privilis seksual laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, dilegitimasi dan diatur.
Melihat kenyataan ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa UUP adalah respon dari pemerintah dalam hal ini ditujukan untuk mengubah status hukum perempuan, tidak sepenuhnya benar. UUP yang dilahirkan dalam era orde baru dengan strategi pertumbuhan ekonomi itu justru membakukan domestikasi perempuan. Domestikasi ini mengarah pada penjinakan, segregasi dan upaya depolitisasi perempuan. Domestikasi juga menghasilkan kepatuhan pekerja perempuan dengan bayaran rendah (karena dianggap bukan pencari nafkah utama) untuk menunjang industri terutama industri ringan yang berorientasi eksport.       
Penutup
Tidak terlalu mengejutkan bahwa UUP sejauh ini terlihat masih jauh dari harapan kelompok perempuan. Dari proses pembentukannya, UUP pada dasarnya merupakan cerminan pertarungan dari tiga kelompok kepentingan yang ada saat itu. Pertama, adalah negara/pemerintahan Orde Baru yang berkepentingan untuk menyelamatkan strategi pembangunannya (Ideologi pembangunanisme). Kedua, agama dengan kepentingan pengukuhan kekuasaan dan kewenangannya. Terakhir, perempuan, meskipun merupakan kelompok yang paling awal mengambil momentum pembahasan RUU sebagai sebuah kesempatan untuk memperjuangkan perbaikan nasib, secara perlahan-lahan tersingkir ke pinggir arena dan menyerah terhadap kepentingan pihak lain yang semakin melanggengkan struktur yang tidak adil tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar