Pengaturan Perkawinan: Tarik Ulur antara Agama dan Negara
Sepanjang sejarah Indonesia, wacana UU
Perkawinan setidaknya selalu melibatkan tiga pihak / kepentingan, yakni
kepentingan agama, negara dan perempuan. Dalam wacana dikotomi publik-privat,
perbincangan seputar perkawinan cendrung dianggap sebagai wilayah privat.
Pengaturan perkawinan tidak dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks
inilah baik agama sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan
untuk mengadakan pengaturan. Agama sebagai sebuah institusi memiliki kepentingan
yang signifikan atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial
terkecil memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada
dalam agama. Sementara itu negara, sebagai institusi modern pun tak bisa
mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya. Meskipun
kepentingan negara ini tidak selalu sama dari pemerintahan satu ke pemerintahan
yang lain.
Pada jaman kolonial,
penguasa Hindia
Belanda berkepentingan untuk mengukuhkan pengaruh dan kekuasaannya atas warga
jajahan dengan cara mengatur mereka melalui serangkaian produk UU, termasuk di
dalamnya hukum perkawinan. Melalui pengaturan inilah tata kependudukan negara
jajahan di atur. Pada masa itu RUU Perkawinan dari pemerintah tidak sepenuhnya
dapat mengakomodir kepentingan perempuan berkaitan dengan hubungan laki-laki
perempuan yang setara dalam keluarga. Ini nampak dalam rumusan pengaturan
perkawinan yang mendudukkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan sebagai
konsekuensinya perempuan mempunyai kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap
urusan domestik rumah tangga. Perempuan bahkan bukan subjek hukum yang dalam
berurusan dengan hukum harus selalu didampingi suaminya. (Lihat BW buku kesatu
bab V pasal 105-107)
Pada masa paska kemerdekaan,
pemerintah
menggunakan pengaturan bidang perkawinan sebagai kompromi dengan kepentingan
berbagai kelompok yang menghendaki kesatuan antara hukum negara dan hukum agama
dalam kehidupan umum. Di sini perempuan lebih parah nasibnya, karena dalam
perkembangannya di kemudian hari banyak terjadi perceraian yang sewenang-wenang
dan perkawinan perempuan di bawah umur.
Pada masa Orde Baru,
pemerintah
menggunakan pengaturan perkawinan sebagai salah satu sarana pendukung strategi
pembangunan, meskipun harus berkompromi dengan kepentingan kelompok dominan
Islam. Pada saat yang sama kelompok Islam itu juga melihat pengaturan perkawinan
ini sebagai kesempatan untuk menegakkan dan memperluas penerapan ajaran agama
dalam kehidupan bernegara. Ini dilakukan karena sejak jaman kolonial,
kepentingan Islam untuk mempengaruhi kehidupan kenegaraan selalu dikalahkan oleh
prinsip penataan negara modern. Rumusan RUU Perkawinan dari pemerintah sangat
dipengaruhi model civil marriage dan menghilangkan beberapa ketentuan
seperti rumusan pengaturan kepala rumah tangga, kewajiban perempuan atas urusan
rumah tangga dan ijin istri dalam perceraian. Namun harapan perbaikan nasib
perempuan ini kembali tenggelam karena pembakuan peran dimunculkan kemudian
sebagai upaya untuk kompromistis dengan kepentingan agama.
Dimana
kepentingan perempuan dalam tarik ulur tersebut?
Jelas kaum perempuan berkepentingan dengan adanya UUP. Mewujudkan UUP yang
mengangkat harkat dan martabat perempuan merupakan harapan dari semua kelompok
perempuan saat itu. Tambah lagi menjelang tahun-tahun lahirnya UUP, berbagai
masalah di seputar perkawinan semakin menguat dan menjadi keprihatinan
organisasi-organisasi perempuan, antara lain kasus poligami, kawin paksa, kawin
anak-anak, perceraian dan perkawinan sewenang-wenang.
Namun, dalam pembahasan mengenai
pengaturan perkawinan dalam keluarga dapat menjadi potret yang cukup jelas untuk
menunjukkan tersingkirnya kepentingan perempuan ke dalam wilayah privat, wilayah
yang secara sepihak dilekatkan pada perempuan.
Hasilnya UUP yang lahir telah mempertegas subordinasi perempuan (istri)
terhadap laki-laki (suami). Di satu sisi misalnya, pasal 31 ayat 2 menjelaskan
adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan dan laki-laki baik
dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Mereka juga sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum. Namun di dalam pasal 31
ayat 3 terdapat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur
keluarga, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Selain itu mengukuhkan stereotype
peran seksual perempuan sebagai pekerja domestik. Lewat UUP jugalah privilis
seksual laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, dilegitimasi dan
diatur.
Melihat kenyataan ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa UUP adalah respon
dari pemerintah dalam hal ini ditujukan untuk mengubah status hukum perempuan,
tidak sepenuhnya benar. UUP yang dilahirkan dalam era orde baru dengan strategi
pertumbuhan ekonomi itu justru membakukan domestikasi perempuan. Domestikasi ini
mengarah pada penjinakan, segregasi dan upaya depolitisasi perempuan.
Domestikasi juga menghasilkan kepatuhan pekerja perempuan dengan bayaran rendah
(karena dianggap bukan pencari nafkah utama) untuk menunjang industri terutama
industri ringan yang berorientasi eksport.
Penutup
Tidak terlalu mengejutkan bahwa UUP sejauh ini terlihat masih jauh dari harapan
kelompok perempuan. Dari proses pembentukannya, UUP pada dasarnya merupakan
cerminan pertarungan dari tiga kelompok kepentingan yang ada saat itu. Pertama,
adalah negara/pemerintahan Orde Baru yang berkepentingan untuk menyelamatkan
strategi pembangunannya (Ideologi pembangunanisme). Kedua, agama dengan
kepentingan pengukuhan kekuasaan dan kewenangannya. Terakhir, perempuan,
meskipun merupakan kelompok yang paling awal mengambil momentum pembahasan RUU
sebagai sebuah kesempatan untuk memperjuangkan perbaikan nasib, secara
perlahan-lahan tersingkir ke pinggir arena dan menyerah terhadap kepentingan
pihak lain yang semakin melanggengkan struktur yang tidak adil tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar